Makna Kata Bala’, Fitnah, Mushibah, dan Adzab
Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)
Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ
Dalam al-Qur’an, setiap kata memunyai muatan makna tersendiri. Makna itu pada mulanya dipahami dari akar kata setiap kata. Akan tetapi, makna kata itu kemudian dapat berkembang, misalnya melalui pengertian kiasan (majazi), pengertian dalam pemakaian sehari-hari (‘urfi), atau pengertian dalam istilah agama (syar’i). Berbagai pengertian itu bisa mempersemoit atau memperluas makna kata itu. Ambillah, misalnya, kata sujud. Kata ini bisa berarti tunduk, taat, shalat (bila diartikan secara luas, karena sujud adalah amalan shalat yang paling mulia), atau dapat juga berarti “meletakkan dahi di lantai bersama kedua telapak tangan, lutut, dan jari-jari kaki” sebagaimana maknanya dalam syariat.
Kata bala’ digunakan dalam al-Qur’an sebanyak enam kali, selain sekitar 28 kali bentuk lain dari akar kata yang sama. Kata ini pada mulanya digunakan untuk melukiskan “lapuknya pakaian karena telah lama dipakai”. Dari sini, kata bala’ diartikan sebagai ujian sampai seakan-akan seseorang yang mengalaminya telah “lapuk” karena banyak atau lamanya cobaan dan ujian yang telah dilaluinya. Dengan berbagai ujian itu, diketahui hakikat atau kualitas seseorang. Keresahan juga disebut bala’, karena dapat “melapukkan” jasmani dan ruhani. Al-Qur’an menggunakan kata ini bukan hanya dalam pengertian sesuatu yang dinilai negatif oleh manusia, tetapi bisa juga sesuatu yang dinilai positif atau baik. Perhatikan firman-Nya, …Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar mereka kembali (kepada kebenaran) (QS. al-A’raf/7: 168). (Baca juga QS. al-Anbiya’/21: 35). Kewajiban-kewajiban keagamaan juga disebut bala’ karena merupakan ujian untuk mengetahui kualitas seseorang dan juga karena berat dipikul. Karenanya, kata ini digunakan untuk suatu ujian yang sifatnya panjang atau sangat berat dan berdampak panjang. Dari enam kata bala’ yang digunakan dalam al-Qur’an, empat di antaranya berkaitan dengan Fir’aun dan penyiksaannya atas umat Nabi Musa (QS. al-Baqarah/2: 49; QS. al-A’raf/7: 141; QS. Ibrahim/14: 6; QS. ad-Dukhan/44: 33), dan satu berkaitan dengan Nabi Ibrahim yang diuji dengan perintah menyembelih putra beliau (QS.ash-Shaffat/37: 106), dan satu lainnya lagi berkaitan dengan ujian yang dihadapi umat Islam dalam Perang Badar (QS. al-Anfal/8: 17). Dua peristiwa terakhir ini merupakan ujian yang sangat berat, sekaligus memiliki dampak yang sangat jauh.
Kata fitnah juga berarti ujian/cobaan. Ia terambil dari akar kata yang berarti “memasukkan emas ke dalam api untuk diketahui kadarnya”. Dari sini, kata ini juga diartikan sebagai “membakar” atau “memperluas”. Secara berdiri sendiri, kata ini terulang dalam al-Qur’an sebanyak 30 kali, selain bentuk-bentuk lainnya yang berjumlah sekitar tiga puluhan. Perlu digarisbawahi bahwa tidak ada satupun dari kata ini yang bermakna “perkataan yang menjelekkan orang lain” sebagaimana digunakan dalam bahasa Indonesia. Menurut Raghib al-Asfahani, seorang pakar dalam bidang kosakata al-Qur’an, penekanan dan penggunaan kata fitnah lebih banyak ditujukan pada sesuatu yang bersifat kesulitan. Inilah salah satu perbedaan penggunaan kata bala’ dan fitnah. Di sisi lain, kata fitnah tidak selalu berarti ujian yang dialami seseorang dalam kehidupan dunia, tetapi bisa juga dalam arti siksaan di akhirat. (Hari Pembalasan adalah) hari ketika mereka disiksa di atas api neraka (Dikatakan pada mereka): “Rasakanlah siksamu itu. Inilah siksa (fitnah) yang dahulu kamu minta supaya disegerakan” (QS. adz-Zariyat/51: 13-14). Ini dapat menjadi perbedaan kedua karena dapat dikatakan bahwa kata bala’ pada dasarnya digunakan dalam konteks kehidupan dunia. Perbedaan ketiga adalah bahwa fitnah tidak selalu harus berbentuk sesuatu yang berlangsung lama atau berdampak lama.
Akan hanya kata mushibah, ia terambil dari akar kata yang berarti “mengenai” atau “menimpa”. Pada mulanya, akar kata ini berkaitan dengan “lemparan” yang mengenai sasaran. Kata mushibah terulang dalam al-Qur’an sebanyak 10 kali. Semuanya digunakan untuk sesuatu yang tidak menyenangkan. Namun demikian, harus diingat bahwa apa yang tidak menyenangkan –bila direnungkan- pasti tepat dan benar. Karena itu, ayat 30 surah asy-Syura menyatakan, Dan apa saja musibah yang menimpa dirimu, maka hal itu disebabkan karena perbuatan tanganmu sendiri,…(QS.asy-Syura/42: 30). Perlu dicatat bahwa jika al-Qur’an menggunakan akar kata yang bukan dalam bentuk kata mushibah ini, maka hal itu digunakannya untuk sesuatu yang baik atau menyenangkan atau buruk. Misalnya, ayat 50 Surah at-Taubah, Jika kamu ditimpa kebaikan, mereka (orang-orang munafik) menjadi tidak senang karenanya…(QS. at-Taubah/9: 50).
Akan halnya kata ‘adzab, para ulama berbeda pendapat tentang makna dasarnya. Ada yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari akar kata yang berarti “menjadikan seseorang mengalami lapar yang luar biasa” atau terambil dari akar kata yang berarti “ujung cambuk” atau “segar nyaman (seperti air yang segar dan nyaman diminum)”. Karenanya, kata “mengazab” (‘adzdzaba) berarti menghilangkan kenyamanan. Betapapun juga, ketiga makna di atas pada akhirnya mengandung makna siksaan. Tentu saja, siksa tidak selalu berarti ujian atau cobaan, walaupun ada cobaan atau ujian yang dirasakan sebagai siksaan.
Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Kehidupan yang Patut Anda Ketahui, h. 374-376.