Panrita.id

Sujud Tahun Baru

Oleh: Allahu Yarham Prof. KH. Ali Mustafa Ya’qub, MA. (Profil)

Penerima Sanad Shahih Bukhari dan Shahih Muslim/Imam Besar Masjid Istiqlal ke-4/Pendiri Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences

 

Sesungguhnya perhelatan dan perayaan menyambut tahun baru masuk dalam wilayah muamalah (hubungan antar sesama manusia), bukan akidah dan atau ibadah. Kaidah hukum Islam menyebutkan:

الأصل في المعاملات الإباحة مالم يدل دليل على تحريمه

“Pada dasarnya muamalah itu dibolehkan sepanjang tidak ada dalil yang melarangnya”

Maka, perayaan menyambut tahun baru pada dasarnya dibolehkan sepanjang tidak melakukan sesuatu yang dilarang oleh agama. Namun, kenyataan membuktikan di semua belahan dunia ini perayaan menyambut tahun baru sudah identik dengan maksiat dan kemungkaran. Di New York, penyambutan tahun baru dipusatkan di Times Square. Sementara di London, penyambutan tahun baru dipusatkan di Piccadilly Road sampai Trafalgar Square. Di dua tempat ini, pada malam tahun baru, yang terjadi adalah maksiat dan kemungkaran, bahkan di London ada tradisi sudah masuk jam 00.00, berlakulah kaidah anyone kiss anyone. Di negeri kita, penyambutan tahun baru hampir terpusat di Ancol dan seputar Monas, di samping di tempat-tempat tertentu seperti hotel-hotel berbintang dan lain sebagainya. Beberapa tahun yang lalu, penyambutan tahun baru di Ancol ditandai dengan membakar kembang api senilai ratusan juta rupiah, suatu perbuatan yang hanya layak dilakukan oleh teman-teman setan. Uang yang semestinya dapat dipakai untuk meringankan beban saudara-saudar kita yang terkena musibah, dimusnahkan dalam bentuk huru-hara dan maksiat dalam bentuk membakar petasan kembang api, pementasan munkarat dan lain sebagainya. Allah dan Rasul-Nya jelas melarang perbuatan tersebut. Sedangkan setan adalah provokator yang menghendaki kemungkaran tersebut. Dan ternyata banyak di antara kita yang taat pada provokasi setan daripada menaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Dari sinilah, kita dapat menyatakan bahwa penyambutan tahun baru adalah sebuah maksiat dan kemungkaran yang dilarang oleh agama.

Oleh karena banyak orang muslim yang terjebak dalam kemungkaran dan maksiat itu, maka beberapa ustaz walakedu (jual agama kejar duit) berinisiatif untuk mengalihkan kerumunan massa di tempat-tempat maksiat itu ke mesjid-mesjid. Upaya pengalihan konsentrasi massa itu sangat bagus karena dapat mengalihkan mereka dari kemungkaran. Namun sayang, keberadaan mereka di mesjid justru diarahkan untuk melakukan ritual-ritual inovatif yang justru dilarang oleh agama karena tidak memiliki dasar hukum alias dalil syar’i. Ritual-ritual inovatif itu, banyak sebutannya, Dari zikir nasional, ikikaf tahun baru, muhasabah akhir tahun, azan pergantian tahun, sujud tahun baru, parade tilawah, parade tausyiah, dan lain sebagainya. Kendati begitu, semuanya bermuara pada penyambutan tahun baru. Ustaz walakedu itu ingin menyelesaikan masalah, yaitu menghindarkan umat dari perbuatan maskiat dan mungkar, tetapi justru dengan membuat masalah baru, yaitu melakukan ritual-ritual inovatif yang tidak memiliki dasar hukum sama sekali dalam agama Islam. Perilaku mereka tak ubahnya seperti menyelamatkan orang dari mulut harimau kemudian memasukkannya ke mulut buaya. Perilaku seperti ini sudah berjalan di Indonesia, khsusunya di beberapa Mesjid di Jakarta sejak lebih kurang 15 tahun yang lalu. Apabila perilaku seperti itu dibiarkan mentradisi di kalangan umat maka suatu saat ada anggapan yang muncul bahwa malam tahun baru memiliki keutamaan (fadhilah), karenanya malam tahun baru perlu disambut dengan ritual-ritual inovatif seperti tersebut.

Sejarah timbulnya hadis-hadis palsu adalah mirip dengan perilaku tersebut di atas. Ketika ada yang mempermasalahkan tentang dasar hukum dari perbuatan tersebut, maka ada yang kemudian membuat hadis palsu untuk mendukung ritual inovatif tersebut. Bagi oknum dai walakedu, tidak penting bagi mereka ada dalil syar’i atau tidak untuk penyambutan tahun baru itu. Bagi mereka, yang penting adalah pitmas (piti masuek) alias uang masuk di kantong. Maka para dai walakedu akan selalu membuat ritual-ritual inovatif untuk tujuan tersebut.

Mereka mencoba berargumen bahwa zikir, iktikaf, dan sebagainya adalah perbatan baik yang sangat dianjurkan oleh agama. Benar, perbuatan tersebut sangat dianjurkan, namun,apabila hal itu dilakukan untuk menyambut tahun baru maka masalahnya menjadi lain. Karena hal itu termasuk membuat syariat baru dalam agama yaitu menyambut tahun baru dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi minimal akan ditolak oleh Allah swt. karena tidak ada syariat dalam penyambutan tahun baru. Lebih fatal lagi perbuatan itu akan masuk ke dalam wilayak perilaku orang musyrik yang dikecam dan dibantah serta diingkari oleh Allah dalam Surah al-Syura ayat 21:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (21)

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang zalim itu akan memperoleh azab yang Amat pedih.” (QS. Al-Syura: 21)

Atau menurut istilah Hadis, masuk dalam kategori al-muhdatsat, ssesuatu yang baru yang tidak ada tuntunannya dalam perintah Allah dan Rasul-Nya. Ini berdasarkan hadis riwayat Muslim,

مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang membuat aturan baru dalam masalah agama kami, yang tidak kami perintahkan, maka tertolak.”(HR.Imam Muslim)

Padahal sejatinya pergantian tahun baru itu sama saja dengan pergantian bulan, pergantian minggu, dan pergantian hari, yang tidak memiliki kelebihan apa pun.

Maka orang yang terbiasa melakukan zikir, tahajud, iktikaf, dan lain sebagainya tiap malam, silakan tetap melakukannya pada malam tahun baru, ataupun di luar itu, maka hal itu sah-sah saja dan dibenarkan dalam agama. Jangan mengkhususkan hal itu dalam menyambut tahun baru, apalagi menganggap bahwa malam pergantian tahun itu memiliki fadhilah tertentu. Dan siapa yang biasa tidur setiap malam silakan tetap tidur. Ketika ada sebuah penyimpangan dalam agama sementara ulama diam saja, maka umat akan menyangka bahwa penyimpangan itu sebuah kebenaran. Karenanya, Imam Abu Ali al-Daqqaq mengatakan orang yang tidak mau berbicara tentang kebenaran, maka sejatinya ia adalah setan yang bisu. Maka, tulisan ini mudah-mudahan akan menjadi saksi bahwa kami bukanlah setan yang bisu. Wallahu al-Muwaffiq.

Sumber:

Ali Mustafa Ya’qub, Setan Berkalung Surban, h. 43-46

Ali Mustafa Ya’qub, Makan tak Pernah Kenyang, h. 13-17.