Panrita.id

Tentang Poligami dan UU Perkawinan

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

 

Pertama-tama, perlu diketahui bahwa ulama-ulama kita berbeda pendapat tentang hukum dasar poligami –bahkan pun hukum dasar perkawinan. Ada yang menilai perkawinan sebagai anjuran, demikian juga poligami. Imam Syafi’i yang mazhab (pendapat-pendapat)nya banyak dianut di Asia Tenggara, berpendapat bahwa hukum dasar perkawinan adalah mubah, yakni boleh dilakukan dan boleh juga ditinggalkan. Menurut beliau, perkawinan bukan ibadah tetapi merupakan salah satu aktivitas duniawi seperti halnya berdagang dan sebagainya.

Mengenai poligami pun demikian, Ada yang berdalih bahwa ia dianjurkan karena Nabi saw. berpoligami dan bahwa salah satu ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perkawinan mendahulukan poligami lalu monogami. Perhatikan, kilah mereka, firman-Nya “maka nikahilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita, dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat. Jika kamu khawatir tidak berlaku adil, maka satu saja atau budak-budak yang kamu miliki” (QS. an-Nisa/4: 3).

Namun, banyak ulama dan cendekiawan dewasa ini tidak memahami poligami sebagai satu anjuran. Menurut mereka, poligami adalah pintu kecil yang hanya dibuka oleh al-Qur’an pada saat-saat tertentu, misalnya jika istri pertama dalam keadaan sakit sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai istri, atau istri mandul sedangkan suami sangat mendambakan anak.

Keadaan ini mereka pahami antara lain dari rangkaian sekian banyak ayat dan hadis, serta perkembangan masyarakat. Syarat poligami, seperti terbaca pada ayat di atas, adalah keadilan. Akan tetapi, dalam ayat lain dinyatakan-Nya, “kamu tidak akan mampu berlaku adil terhadap istri-istrimu walau kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, jangan terlalu cenderung kepada istri yang kamu cintai sehingga engkau biarkan (istri yang lain) seperti tergantung (terabaikan).”(QS. an-Nisa/4: 129)

Gabungan kedua ayat ini menunjukkan bahwa poligami dapat dibenarkan tetapi karena syarat keadilan harus terpenuhi, dan keadilan –dalam cinta- hampir mustahil dapat terpenuhi, maka kebolehan tersebut tidak dapat dipahami sebagai anjuran. Ia adalah pintu yang hanya terbuka pada saat-saat tertentu. Apalagi –tambah ulama dan cendekiawan penganut paham ini- ayat yang berbicara tentang poligami itu bukan dalam hal penekanannya pada bolehnya poligami, tetapi pada larangan berlaku aniaya terhadap anak yatim. Ayat ini turun ketika ada sementara wali yang menikahi anak-anak yatim cantik dan kaya yang dipeliharanya, tetapi tidak memberikan hak-hak anak-anak yatim itu. Allah melarang hal tersebut, dan amat keras larangan itu. Karena sebelum menyatakan, “maka nikahilah apa yang kamu senangi dari wanita-wanita, dua-dua, tiga-tiga, dan empat-empat”, dinyatakan-Nya, Kalau kamu khawatir tidak berlaku adil terhadap anak-anak yatim (yang kamu nikahi) maka nikahilah, dan seterusnya.

Kalimat di atas serupa dengan ucapan seorang yang ingin melarang memakan makanan tertentu “Jangan makan makanan ini kalau kamu khawatir sakit. Kalau memang engkau lapar, habiskan saja selainnya”. Ucapan ini bukan perintah untuk menghabiskan selainnya, tetapi penekanan untuk tidak makan makanan tertentu.

Jika demikian, tidak serta merta kita berkata bahwa menetapkan syarat-syarat berpoligami sebagaimana UU Perkawinan –bukan melarangnya sama sekali- bertentangan dengan syariat Islam. Namun demikian, saya dapat memahami pandangan yang menyatakan bahwa persyaratan yang sangat berat –seperti harus seizing istri pertama, yang hampir mustahil ada yang mengizinkannya- dapat mengantar kepada tertutupnya sama sekali pintu poligami, yang telah dibuka oleh syariat Islam. Atau mengantar kepada maraknya perkawinan “sirri” (yang dirahasiakan) atau bahkan hadirnya wanita-wanita simpanan, atau bahkan mengantar kepada berkembangnya prostitusi. Bukan saja disebabkan oleh jumlah wanita lebih banyak, tetapi lebih-lebih oleh era “keterbukaan” aurat dewasa ini. Paling tidak, walau tanpa harus merevisi UU Perkawinan, para hakim dengan kebijaksanaan dan ijtihadnya dapat berperanan mengurangi kekhawatiran kita semua. Demikian, Wallahu a’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui, h. 547-549 dengan judul Asli “PNS dan Istri Kedua”