Panrita.id

Kemerdekaan Agama, Toleransi dan Radikalisme

Oleh: Prof. Ahmad Syafii Ma’arif, MA., Ph.D.(Profil)

Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta/Ketua PP Muhammadiyah 1998-2005

 

Institut Leimena pimpinan Jakob Tobing sangat bergiat mengadakan berbagai pertemuan, diskusi, dialog, simposium, dan yang sejenis itu tentang masalah-masalah yang berakaitan dengan agama, kebudayaan, pilantropi, dan sebagainya. Institut ini punya jaringan luas dengan lembaga-lembaga luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Saya sering diundang untuk berbicara dalam forum institut ini.

Demikianlah pada 4 Oktober 2015, bertempat di Hotel Phoenix Yogyakarta, diadakan dialog dengan topik: “Indonesia’s Civilizational Heritage: Assett to Promote Religious Freedom and Tolerance, and to Counter Religious Radicalism” (Warisan Peradaban Indonesia: Aset untuk Mengembangkan Kemerdekaan Agama, Toleransi, dan untuk Menjawab Radikalisme Agama). Pengantar dialog diberikan oleh Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X dengan pembicara Romo Prof. Dr. Barnadus Soebroto Mardiatmadja, S.J. (Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara), Prof. DR. M. Amin Abdullah (UIN Sunankalijaga), dan saya sendiri. Enam penanggap dari Amerika Serikat dengan berbagai profesi adalah: David Melilli, Darrellyn Melilli, Howard F. Ahmanson, Roberta G. Ahmanson, Paul Marshall, dan Ralph D. Veerman.

Diskusi terbatas di atas cukup intensif yang juga dihadiri oleh beberapa peserta lain dari Indonesia. Berikut ini adalah terjemahan bebas dari makalah yang saya sampaikan  dengan sedikit perubahan di sana-sini:

Untuk berbicara tentang kemerdekaan agama dan toleransi dalam peta agama-kultural di Indonesia, kita perlu melacak sedikit latar belakang sejarah keagamaan yang meliputi era Hindu-Buda, Islam, Kristen, sampai masa sekarang. Dengan pengatahuan yang sedikit memadai kita akan tahu bahwa masalah kemerdekaan agama dan toleransi ternyata punya suaturaison de’tre (alasan keberadaan) yang kuat sekali dalam kehidupan bangsa ini.

Adalah penyair-filosuf Majapahit Mpu Tantular yang membuat formulasi penting tentang kemerdekaan agama dan toleransi sebagai fondasi filosofis Kerajaan Besar Hindu Majapahit (1293-1520) yang terletak di Jawa Timur itu. Frasa Bhinnêka tunggal ika (secara harfiah bermakna “sekalipun beraneka, tetapi Satu”) berasal dari pengarang Jawa kuno itu. Terjemahan modern  dalam bahasa Indonesia adalah “Persatuan dalam Keberagaman” (Unity in Diversity), yang telah ditetapkan sebagai sasanti dan motto nasional resmi negara ini.

Sekalipun Mpu Tantular seorang penganut agama Budha, elite Majapahit sangat menghormatinya. Berikut ini adalah kutipan terjemahan dari Kakawin Sutasoma karya Tantular di dalamnya ungkapan Bhinnêka itu ditemukan, yaitu dalam canto 139 bait 5:

Disebutkan bahwa Budha yang kesohor dan Syiwa adalah dua hakekat yang berbeda.

Memang berbeda, tetapi mana mungkin untuk mengenal perbedaannya sambil lalu, karena kebenaran Jina (Budha) dan kebenaran Syiwa adalah tunggal.

Benar keduanya berbeda, tetapi sama jenisnya, sebagaimana tidak ada dualitas dalam Kebenaran (Dharma).

Bait terakhir ini adalah terjemahan dari ungkapan bahasa Jawa kuno yang berbunyi: “Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.” (Lih. Soewito Santoso, Sutasoma, a Study in Old Javanese Wajrayana. New Delhi: International Academy of Culture, 1975, hlm. 578).

Doktrin Kebenaran Tunggal membuka pintu lebar-lebar bagi orang untuk memahami dan melihat masing-masing agama dari sisi dan perspektif yang berbeda. Hal ini hanya mungkin jika orang punya minda dan hati yang terbuka untuk berbagi dengan orang lain. Sikap mau memonopoli kebenaran adalah hambatan nyata untuk berbagi dengan berbagai aliran keagamaan yang ada. Peperangan yang meledak antara pemeluk agama harus dilihat dari sisi sikap yang mau menang sendiri ini.

Dan, situasi akan semakin memburuk serta berbahaya pada saat politisi menyalahgunakan agama untuk tujuan-tujuan pragmatisnya sendiri. Selama sikap semacam ini berlanjut di kalangan mereka yang juga menyebut dirinya sebagai pemeluk agama, tidak ada harapan bahwa perdamaian akan terwujud.

Dengan frasa Bhinneka Tunggal Ika, Mpu Tantular sebenarnya ingin menyaksikan bahwa antara penganut Hindu (khususnya Syiwa) dan penganut Buddha dapat membina hidup bersama dengan damai dan serasi dalam kerajaan itu.

Bilamana pada akhirnya Kerajaan Majapahit runtuh, bukanlah disebabkan oleh konflik agama antara penganut Hindu dan penganut Buddha, melainkan menurut catatan sarjana Prancis Coedes karena sebab-sebab berikut. Pertama, munculnya Malaka sebagai pusat perdagangan dan sebuah awal penyebaran Islam.

Kedua, pecahnya perang suksesi di kalangan elite puncak Majapahit. Dan, ketiga, adanya upaya Cina di bawah pimpinan Kaisar Yung Lo untuk mengambil alih posisi Jawa sebagai yang dipertuan di nusantara dan di semenanjung. (Lih. G Coedes, The Indianized States of Southeast Asia, ed Oleh Walter F Vella, terj. Oleh Susan Brown Cowing. Honolulu: East-West Center Press, 1968, hlm 241).

Sekalipun Kerajaan Majapahit telah masuk ke museum sejarah, Bhinneka Tunggal Ika rumusan Mpu Tantular bertahan sampai hari ini di Indonesia, sebagaimana telah disebut di atas. Tidak ada masalah dalam menerima ciptaan sastrawan Buddha ini.

Kenyataannya, seluruh rakyat Indonesia telah menerima sasanti Bhinneka Tunggal Ika sebagai warisan sejarahnya sendiri, sesuatu yang amat penting bagi pengembangan iklim kemerdekaan agama, harmoni sosial, dan toleransi di negeri ini.

Kemudian, kita tengok pula kehadiran Islam dan agama Kristen di kepulauan ini beberapa abad silam. Saat kedatangan kedua agama ini, akar-akar sosiokultural Hindu-Buddha masih sangat kuat, dan bahkan perilaku rakyat umum masih dipengaruhi oleh nilai-nilai agama kosmopolitan asal India ini.

Diperlukan waktu beberapa abad bagi Islam dan Kristen untuk menggantikan posisi dominan Hinduisme dan Buddhisme di nusantara. Islam, khususnya, sejak abad ke-17, telah tampil sebagai agama yang sangat berpengaruh di kawasan ini. Keberhasilan besarnya bukan diraih melalui peperangan, melainkan “melalui perembesan damai, toleran, dan bersifat membangun” (penetration pacifique, tolerant, et constructive), sebagai disimpulkan oleh Yosselin de Yong.

Berdasarkan gejala sosial ini, watak utama Islam Indonesia dengan sendirinya bersifat damai dan toleran, sampai suatu ketika belum lama ini muncul kelompok sempalan kecil dengan topangan ideologi radikal dari luar negeri sebagai filsafat politik yang dianutnya untuk melakukan tindakan-tindakan brutal dan kejam. Dalam kasus semacam ini, agama pastilah merupakan bahaya dan kutukan bagi kehidupan manusia.

Kemudian, kita lihat pula agama Kristen dan persandingannya dengan Islam dalam masalah toleransi dan perdamaian. Dengan mengesampingkan sisi imperialistik dari penganut Kristen Eropa, agama Kristen sendiri adalah agama perdamaian, toleransi, dan harmoni.

Pernyataan Yesus dalam Bibel berikut ini, “Anda telah dengar dan dikatakan bahwa ‘Kamu harus mencintai tetanggamu dan membenci musuhmu’. Tetapi aku katakan kepadamu, ‘Cintailah musuhmu, sayangilah orang yang mengutukmu, berbuat baiklah kepada orang yang membencimu, dan doakanlah mereka yang memanfaatkanmu dengan dengki dan yang menganiayamu’.” (Matteus 5:43-44) adalah salah satu bukti teologis bahwa agama Kristen pada dasarnya adalah sebuah agama kasih dan damai.

Sama halnya dengan Islam. Islam menurut definisi berarti damai dan sikap penyerahan diri secara total kepada Tuhan. Alquran sebagai sumber utama Islam dalam sebuah ayat menegaskan, “Tidak ada paksaan dalam beragama.” (QS al-Baqarah [2]: 256). Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada satu pun Kitab Suci sepanjang sejarah peradaban manusia yang demikian gamblang membela prinsip kebebasan beragama.

Tetapi, masalah yang dihadapi oleh dua warisan spiritual Nabi Ibrahim ini adalah bahwa para penganutnya tidak selalu berpegang teguh kepada ajaran-ajaran pokok agama masing-masing dalam urusan hubungan duniawi.

Tidak saja peperangan yang pernah berlaku antara penganut kedua komunitas itu, bahkan perang internal di kalangan pemeluk agama yang sama bukanlah perkara yang tidak pernah terjadi. Di sinilah letaknya ironi agama dalam perjalanan sejarah umat manusia.

Barangkali dalam perspektif inilah Bertrand Russell dengan sinis menulis, “Saya kira seluruh agama besar dunia…semuanya tidak benar dan berbahaya.” (Lihat Bertrand Russell, Why I Am Not a Christian. New York: Simon and Schuster, 1957, hlm v). Kritik serupa ini harus didengar dan diterima sehingga agama tidak boleh menutup pintunya dan siap untuk dipertanyakan oleh sebuah minda kritikal.

Dalam penafsiran saya atas beberapa ayat Alquran, ternyata umat manusia tidak saja harus hidup berdampingan secara damai dengan teman-teman lain agama, bahkan dengan kelompok ateis, sebuah kerja sama dan saling mengerti secara damai menjadi mungkin untuk dibangun. Dalam ungkapan lain, keserasian dan toleransi sosial harus menjadi norma pengikat dalam hidup keseharian manusia.

Fabrik sosial di muka planet bumi yang kecil ini akan berantakan jika keserasian dan toleransi tiba-tiba menghilang. Di antara ayat Alquran itu dengan caranya sendiri menggambarkan peta ini: “Sekiranya Tuhanmu berkehandak, sungguh penduduk bumi seluruhnya telah beriman. Maka, apakah engkau [Muhammad] ingin memaksa manusia agar mereka menjadi umat beriman?” (QS Yunus: 99). Di sinilah, prinsip pilihan bebas dan kemauan bebas dalam batas domain manusia sepenuhnya dijamin dan dipelihara.

Akhirnya, tentang radikalisme untuk Indonesia. Dengan senjata Bhinneka Tunggal Ika dan dengan pemahaman ajaran agama yang benar dan autentik, segala corak dan bentuk radikalisme: agama, sosial, atau politik akan dapat dihadapi secara efektif dengan syarat bahwa prinsip keadilan sosial dapat diwujudkan dalam realitas yang konkret secara sungguh-sungguh.

Jika yang berlaku sebaliknya, bangsa ini masih akan tetap bingung dan rentan dalam membuat peta masa depannya. Sebagai bangsa besar, Indonesia harus berani dengan penuh percaya diri untuk memberi jawaban secara berhasil kepada tantangan yang sedang berada di depan mata.

Catatan kecil, kepada panelis Roberta G Ahmanson dalam forum dialog, saya membuat pernyataan ini: “Pada waktu-waktu tertentu, saya tidak merasa bahagia tinggal di negeri ini, begitu bejibunnya persoalan yang tidak kunjung teratasi. Keadilan yang dirindukan belum juga menjadi kenyataan di negeri ini. Apakah Anda punya perasaan serupa hidup di Amerika?\” Dijawab, “Ya, saya punya perasaan yang sama!”

Rupanya, dalam suasana dunia yang semakin tidak adil dan tidak nyaman ini, ternyata banyak manusia yang merasa tidak bahagia, bukan karena hidup miskin, tetapi karena turut memikirkan nasib penduduk bumi yang masih terasing, menjerit, dan menderita. Akibat perang saudara yang sering berlaku dan kesenjangan sosial-ekonomi antara Timur-Barat, Utara-Selatan di bawah sistem politik-ekonomi yang antikeadilan adalah pemicu utama mengapa sebagian kita sulit untuk dapat merasa hidup bahagia-sentosa.

Sumber:

https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/10/05/nvr0bj319-kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-i

https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/10/12/nw4557319-kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-di-indonesia-ii

https://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/15/10/19/nwh2iy319-kemerdekaan-agama-toleransi-dan-radikalisme-di-indonesia-iii