Panrita.id

Hukum Bunga Bank

Oleh: Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA. (Profil)

Doktor Tafsir Universitas Al-Azhar Kairo dengan Predikat Mumtaaz ma’a martabah al-syarf al-ula-Summa Cum Laude/Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an-PSQ

 

Persoalan bank konvensional dan bunganya telah dibahas oleh para pakar dan ulama sejak puluhan tahun yang lalu. Pendapat mereka beragam, ada yang mengharamkannya, ada juga sebaliknya. Yang menghalalkan pun terbagi, ada secara mutlak, ada juga bersyarat, misalnya harus dikelola oleh pemerintah dengan alasan keuntungan yang diperoleh bank pemerintah akan kembali kepada masyarakat. Yang mengharamkan, ada yang membolehkan dalam batas darurat, dan ada juga dalam batas hajat (kebutuhan mendesak). Dalam kaidah hukum ditegaskan bahwa “hajat dipersamakan dengan darurat, keduanya dapat membolehkan (dalam batas tertentu) hal-hal yang haram.”

Persoalan hukum bank dan bunganya memang cukup sulit dan kait-berkait, apalagi kebijakan bank menghadapi nasabahnya tidak seragam. Karena itu, tidak sedikit yang menilainya syubhah, atau kalaupun dibenarkan, maka itu atas dasar hajat (kebutuhan mendesak). Memang, pertumbuhan ekonomi amat membutuhkan kehadiran bank, sehingga selama bank non-riba belum ada atau mampu melayani pihak yang membutuhkan, selama itu pula bermuamalah atau berhubungan timbal balik antara yang butuh dengannya tetap dalam batas toleransi.

Jika anda mampu melakukan penelitian menyangkut argumentasi para pakar, maka menjadi kewajiban bagi anda untuk berpegang dengan hasil kesimpulan anda –apapun hasilnya. Akan tetapi, jika tidak, maka tanyailah nurani anda, insya Allah, Tuhan akan memberikan petunjuk. Pilihan anda selama ini, yakni menilainya haram, adalah jalan yang aman.

Adapun perihal mengambil dan menggunakan bunga bank, maka perlu diketahui bahwa tidak semua ulama –yang mengharamkan bunga bank- melarang nasabah mengambilnya, selama bunga tersebut tidak digunakan untuk kepentingan pribadi. Dalam Konferensi Menteri Luar Negeri Negara Islam, yang berlangsung di Jeddah pada Februari 1972, Delegasi Mesir menunjukkan satu hasil studi yang menyatakan bahwa: Bagi umat Islam yang menyimpan uangnya di bank-bank non-Islam, maka pendapat yang disimpulkan berdasarkan argumentasi-argumentasi syariat yang jelas adalah bahwa merupakan kewajiban bagi kaum Muslim untuk mengambil bunga yang berhak mereka peroleh dari penyimpanan uang mereka untuk digunakan bagi kemaslahatan umat Islam.

Gharib al-Jammal, dalam bukunya “al-Masharif wa al-A’mal al-Mashrafiyyah” (h. 435) menulis “Bagi kaum muslim yang mendepositokan uang mereka di bank-bank, maka tiada keraguan tentang bolehnya orang-orang muslim itu untuk mengambil bunga bank tadi, bahkan boleh jadi mengambilnya menjadi wajib apabila kaum muslim tertimpa mudharat bila bunga itu tidak diambil.”

Pendapat ini dikuatkan juga oleh banyak ulama. Dr. Sami Hasan Ahmad Mahmud dalam bukunya, Tathwir al-A’mal al-Mashrafiyyah mengutip pendapat Baqir al-Shadr, yang mengemukakan beberapa alasan hukum tentang kebolehan mengambil bunga bank konvensional untuk digunakan bagi kemaslahatan umum. Dasar hukum terkuat, bagi Baqir al-Shadr, adalah pendapat yang menyatakan bahwa dibolehkan melakukan transaksi riba dengan non-Muslim, sebagaimana pendapat ulama mazhabnya, dan ulama mazhab yang lain, seperti mazhab Hanafi. Dasar pertimbangan semacam ini tidak disetujui oleh ulama-ulama bermazhab Syafi’i, Malik, dan Hanbali, dengan alasan bahwa riba pada dasarnya haram, dan ketetapan hukum ini berlaku terhadap siapa saja, baik muslim maupun non-muslim.

Hemat saya, bagi mereka yang menilai bunga bank haram, maka seharusnya sejak semula dia tidak mendepositokan uangnya di bank konvensional, tetapi bila dia tidak menliai bank dan bunganya syubhah, atau berpendapat bahwa ia dibolehkan karena adanya kebutuhan mendesak, maka hendaknya dia mengambil bunganya untuk digunakan bagi kemaslahatan umum. Demikian, wallahu a’lam.

Sumber: M. Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui. h. 634-635.