Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA. (Profil)
Dosen Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Banyak hadits menyebutkan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan agar membiarkan (tidak mencukur) jenggot. Diantaranya hadits:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مِنْهَالٍ، حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” خَالِفُوا المُشْرِكِينَ: وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ ” وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ: «إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ»[1]
Muhammad bin Minhal menceritakan kepada kami; Yazid bin Zurai’ menceritakan kepada kami; Umar bin Muhammad bin Zaid menceritakan kepada kami, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari Rasulullah Saw, beliau bersabda: “Bedakanlah diri kamu dari orang-orang musyrik, biarkanlah jenggot dan rapikanlah kumis”. Apabila Ibnu Umar melaksanakan ibadah haji atau Umrah, beliau menggenggam jenggotnya, yang berlebih (dari genggaman itu) ia potong.
Apakah perintah Rasulullah Saw “Biarkanlah jenggot!” diatas mengandung makna wajib? Atau hanya bersifat anjuran (an-Nadab)?
Ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa makna perintah di atas hanya bersifat anjuran, bukan wajib, oleh sebab itu mencukur jenggot hanya dikatakan makruh. Berikut ini beberapa teks dari kitab-ktab ulama kalangan mazhab Syafi’i:
)وَ) يُكْرَهُ (نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ أَوَّلَ طُلُوعِهَا إيثَارًا لِلْمُرُودَةِ وَحُسْنِ الصُّورَةِ[2]
“Makruh hukumnya mencabut jenggot pada awal tumbuhnya untuk orang yang baru tumbuh jenggot dan untuk penampilan yang bagus”
Komentar Imam ar-Ramly terhadap teks ini:
)قَوْلُهُ وَيُكْرَهُ نَتْفُهَا) أَيْ اللِّحْيَةِ إلَخْ وَمِثْلُهُ حَلْقُهَا فَقَوْلُ الْحَلِيمِيِّ فِي مِنْهَاجِهِ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ، وَلَا حَاجِبَيْهِ ضَعِيفٌ[3[
“Ucapan Syekh Zakariya al-Anshari, “Makruh mencabut jenggot” dan seterusnya. Demikian juga halnya dengan mencukur jenggot. Adapun pendapat al-Halimi dalam kitab al-Minhaj yang mengatakan bahwa tidak halal bagi seseorang mencukur jenggot dan dua alis, pendapat ini adalah pendapat yang dha’if
قوله: ويحرم حلق لحية) المعتمد عند الغزالي وشيخ الإسلام وابن حجر في التحفة والرملي والخطيب وغيرهم: الكراهة.[4[
(Haram mencukur jenggot), pendapat yang kuat menurut Imam al-Ghazali, Syaikhul Islam, Ibnu Hajar dalam at-Tuhfah, ar-Ramly, al-Khathib dan lainnya: makruh
إنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوهٌ حَتَّى مِنْ الرَّجُلِ وَلَيْسَ حَرَامًا.[5[
“Sesungguhnya mencukur jenggot itu makruh, meskipun dilakukan oleh laki-laki dewasa. Bukan haram”
)فرع) ذكروا هنا في اللحية ونحوها خصالا مكروهة: منها نتفها وحلقها[6[
(Masalah Cabang): disini mereka sebutkan tentang jenggot dan lainnya, ada beberapa perkara yang makruh, diantaranya adalah mencabut dan mencukur jenggot.
Bukan hanya dari kalangan ulama mazhab Syafi’i saja yang be Qadhi ‘Iyadh dari Mazhab Maliki juga berpendapat demikian:
وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ: يُكْرَهُ حَلْقُهَا وَقَصُّهَا وَتَحْرِيقُهَا.[7[
“al-Qadhi ‘Iyadh berkata: “Makruh hukumnya mencukur, memotong dan membakar jenggot”
Pendapat Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq, Grand Syaikh Al-Azhar.
Perintah tentang membiarkan jenggot, ulama berbeda pendapat tentang ini antara: wajib, Sunnah
dan nadab (anjuran).
Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,
Terdapat beberapa hadits yang menganjurkan membiarkan jenggot dan memperhatikan kebersihannya, seperti hadits-hadits yang menganjurkan menggosok gigi (bersiwak), memotong kuku dan kumis. Sebagian ahli Fiqh memahami hadits-hadits perintah membiarkan jenggot mengandung makna wajib, sebagian besar ahli Fiqh menyebutnya Sunnat; orang yang melakukannya mendapatkan pahala dan yang tidak melakukannya tidak dihukum. Tidak ada dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mencukur jenggot itu haram atau munkar selain hadits-hadits husus yang terkait dengan perintah membiarkan jenggot untuk membedakan diri dengan orang-orang Majusi dan musyrik. Perintah dalam hadits-hadits dari Rasulullah Saw tersebut sebagaimana ada yang memahaminya mengandung makna wajib, juga mengandung makna sekedar anjuran kepada yang lebih utama.
Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq melanjutkan,
Kebenaran yang dianjurkan Sunnah yang mulia dan adab Islamy dalam masalah ini, bahwa masalah pakaian, makanan dan bentuk fisik, tidak termasuk dalam ibadah (mahdhah) yang seorang muslim mesti mewajibkan diri mengikuti cara nabi dan para shahabat, akan tetapi dalam hal ini seorang muslim mengikuti apa yang baik menurut lingkungannya dan baik menurut kebiasaan orang banyak, selama tidak bertentangan dengan nash atau hukum yang tidak diperselisihkan. Membiarkan atau mencukur jenggot termasuk perkara yang diperselisihkan hukum perintahnya (apakah wajib atau anjuran), sebagaimana yang telah dijelaskan di atas.[8]
Pendapat Syekh Ali Jum’ah Mufti Mesir.
Jika hal ini terkait dengan kebiasaan dan tradisi, maka itu menjadi indikasi yang mengalihkan makna perintah dari bermakna wajib kepada makna anjuran. Jenggot itu termasuk kebiasaan da tradisi. Para Fuqaha’ menganjurkan banyak hal, padahal dalam nashnya secara jelas dalam bentuk perintah, karena berkaitan dengan kebiasaan dan tradisi. Misalnya sabda Rasulullah Saw:
غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
“Rubahlah uban. Janganlah kamu menyamakan diri dengan orang-orang Yahudi”. (HR. atTirmidzi).
Bentuk kata perintah dalam hadits perintah merubah uban kejelasannya menyerupaihadits perintah memelihara jenggot. Akan tetapi karena merubah uban bukanlah suatu perbuatan yang diingkari di tengah-tengah masyarakat, maka tidak dilakukan. Para ahli Fiqh berpendapatbahwa merubah uban itu hukumnya dianjurkan, mereka tidak mengatakan diwajibkan. Para ulama berpendapat berdasarkan metode ini. Para ulama bersikap keras dalam halpemakaian topi dan memakai dasi, mereka menyatakan bahwa siapa yang melakukan itu berarti kafir. Bukanlah karena perbuatan itu kafir pada zatnya. Akan tetapi karena perbuatan itu mengandung makna kekafiran pada masa itu. Ketika pemakaian dasi sudah menjadi tradisi, tidakseorang pun ulama mengkafirkan orang yang memakainya.
Hukum jenggot pada masa Salaf, seluruh penduduk bumi, baik yang kafir maupun yangmuslim, semuanya memanjangkan jenggot. Tidak ada alasan untuk mencukurnya. Oleh sebab itu,ulama berbeda pendapat antara jumhur yang mewajibkan memelihara jenggot dan MazhabSyafi’i yang menyatakan bahwa memelihara jenggot itu sunnat, tidak berdosa bagi orang yang mencukurnya.
Oleh sebab itu menurut kami pada zaman ini perlu mengamalkan Mazhab Syafi’i, karenatradisi telah berubah. Mencukur jenggot itu hukumnya makruh. Memelihara jenggot hukumnyasunnat, mendapat pahala bagi yang menjaganya, dengan tetap memperhatikan tampilan yang bagus, menjaganya sesuai dengan wajah dan tampilan seorang muslim. Wallahu Ta’ala A’la waA’lam.[9]
[1]Abu‘Abdillah Muhmmad bin Isma’il al-Bukhariy, Al-Jami’ al-Musnad al-Sahih Rasulillah Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam wa Sunanihi wa Ayyamihi, Juz. VII (Cet. I; t.tp.: Dar Tauq al-Najah, 1422 H), h. 160.
[2]Syekh Zakariya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz. VII, hal. 58.
[3]Imam ar-Ramly, Hasyiyah Asna al-Mathalib, juz. VII, hal. 58.
[4]Imam Abu Bakar bin as-Sayyid Muhammad Syatha a-Di myathi, Hasyiyah I’anatu ath-Thalibin ‘ala Hall Alfazh Fath al-Mu’in li Syarh Qurrat al -‘Ain bi Muhimmat ad-Din, juz. II (Beirut: Dar al-Fikr), hal. 386
[5]Imam al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairimi ‘ala al-Khathib, juz. XIII, hal. 273.
[6]Imam Ibnu Hajar al-Haitsami, Tuhfat al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, juz. IV, hal. 202.
[7]Imam Zainuddin al-‘Iraqi, Tharhu at-Tatsrib, juz. II, hal. 49.
[8]Fatawa al-Azhar, juz.II, hal.166.
[9]Syekh DR. Ali Jum’ah, Al-Bayan li ma Yusyghil al-Adzhan, (Cet. I; Kairo: al-Muqaththam,1426H/2005M), hal. 330 – 333
Sumber:H. Abdul Somad, Lc., MA. 37 Masalah Populer, hal. 96-99.