Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA. (Profil)
Dosen Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Hadits Pertama:
عَنِ الْبَرَاءِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ، فَيَتَصَافَحَانِ إِلَّا غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا»
Dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, “Rasulullah Saw bersabda, ‘Dua orang muslim yang bertemu, lalu bersalaman, maka Allah mengampuni mereka berdua sebelum mereka berpisah”. (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).
Hadits Kedua dan Ketiga:
391- باب المصافحة – 440
748/967 (صحيح الإسناد موقوفاً) عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: لَمَّا جَاءَ أَهْلُ الْيَمَنِ، قَالَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قَدْ أَقْبَلَ أَهْلُ الْيَمَنِ، وَهُمْ أَرَقُّ قُلُوبًا مِنْكُمْ”. فَهُمْ أَوَّلُ من جاء بالمصافحة.
749/968 (صحيح الإسناد موقوفاً) عَنِ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ قَالَ: “مِنْ تَمَامِ التَّحِيَّةِ أَنْ تُصَافِحَ أخاك
391- Bab: Bersalaman.
967/748 (sanadnya shahih, hadits Mauquf). Dari Anas bin Malik, ia berkata, “ Ketika orang-orang Yaman datang, Rasulullah Saw berkata, ‘Orang Yaman telah datang, mereka adalah orang-orang yang lebih lembut hatinya daripada kalian. Mereka adalah orang pertama yang bersalaman”.
968/749 (sanadnya shahih, hadits Mauquf). Dari al-Barra’ bin ‘Azib, ia berkata, “Diantara kesempurnaan penghormatan adalah engkau bersalaman dengan saudaramu”.
Disebutkan Imam al-Bukhari dalam Adab al-Mufrad. Dinyatakan Syekh al-Albani sebagai hadit shahih dalam Shahih Adab al-Mufrad.
Hadis Keempat:
عَنْ قَتَادَةَ، قَالَ: قُلْتُ لِأَنَسٍ: أَكَانَتِ المُصَافَحَةُ فِي أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: «نَعَمْ»
Dari Qatadah, ia berkata, “Saya bertanya kepada Anas bin Malik, ‘ Apakah para shahabat nabi Muhammad Saw bersalaman?”. Anas bin Malik menjawab, “Ya”. (HR. al-Bukhari).
Keempat hadits di atas jelas menyatakan bahwa bersalaman adalah perbuatan yang baik, bahkan dianjurkan Rasulullah Saw. Hadits-hadits diatas tidak menyebutkan waktu bersalaman, mengandung makna umum, apakah ketika datang dari perjalanan atau pun ketika kembali dari suatu perjalanan. Sebelum shalat atau pun setelah shalat. Tidak boleh mengkhususkan sesuatu tanpa ada dalil yang mengkhususkan. Maka hadits-hadits ini bersifat umum, mengandung makna boleh bersalaman kapan saja.
Jika ada yang melarang bersalaman setelah shalat. Tidak ada hadits yang melarang. Yang ada justru hadits menyebutkan Rasulullah Saw bersalaman setelah shalat:
عَنِ الحَكَمِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا جُحَيْفَةَ، قَالَ: «خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالهَاجِرَةِ إِلَى البَطْحَاءِ، فَتَوَضَّأَ ثُمَّ صَلَّى الظُّهْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَالعَصْرَ رَكْعَتَيْنِ، وَبَيْنَ يَدَيْهِ عَنَزَةٌ» قَالَ شُعْبَةُ وَزَادَ فِيهِ عَوْنٌ، عَنْ أَبِيهِ أَبِي جُحَيْفَةَ، قَالَ: «كَانَ يَمُرُّ مِنْ وَرَائِهَا المَرْأَةُ، وَقَامَ النَّاسُ فَجَعَلُوا يَأْخُذُونَ يَدَيْهِ فَيَمْسَحُونَ بِهَا وُجُوهَهُمْ، قَالَ فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَوَضَعْتُهَا عَلَى وَجْهِي فَإِذَا هِيَ أَبْرَدُ مِنَ الثَّلْجِ وَأَطْيَبُ رَائِحَةً مِنَ المِسْكِ»
Dari al-Hakam, ia berkata, “Saya mendengar Abu Juhaifah berkata, ‘Rasulullah Saw keluar pada saat panas terik ke al-Bath-ha’ (antara Mekah dan Mina). Lalu Rasulullah Saw berwudhu’, kemudian shalat Zhuhur dua rakaat dan shalat ‘Ashar dua rakaat, di hadapannya ada tongkat pendek”. ‘Aun menambahkan, dari Abu Juhfah Bapaknya, ia berkata, ‘Perempuan lewat di belakang tongkat pendek itu’.
Lalu orang banyak pun berdiri, mereka menarik kedua tangan Rasulullah Saw, lalu mereka mengusapkannya ke wajah mereka. Lalu saya pun menarik tangan Rasulullah Saw, lalu saya letakkan di wajah saya, lebih sejuk daripada salju dan lebih wangi daripada semerbak kasturi”. (HR. al-Bukhari).
Andai bersalaman setelah shalat itu dilarang, tentulah Rasulullah Saw melarang mereka.
Pendapat Ulama.
Pendapat Syekh Abdul Aziz bin Baz:
56 – حكم المصافحة بعد الصلاة المفروضة
س: بعض المصلين وبعد أداء تحية المسجد يلتفت ويصافح من على يمينه ومن على شماله، فما حكم ذلك؟ وهل هي سنة؟ جزاكم الله خيرا
ج: بسم الله والحمد لله. . السنة أن يصافح من عن يمينه وعن شماله إذا فرغ من صلاته، فقد كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا التقى بصحابته صافحهم، وكان الصحابة رضوان الله عليهم إذا التقوا تصافحوا، فإذا جاء المصلي إلى المسجد ووصل إلى الصف فليسلم قبل الصلاة، ثم بعد الصلاة يصافح من على يمينه وشماله إذا كان لم يصافحهم قبل الصلاة لما في ذلك من التأسي بالنبي
56- Hukum Bersalaman Setelah Shalat Wajib.
Pertanyaan: ada sebagian orang yang shalat, setelah menunaikan shalat Tahyatal-masjid, ia menoleh ke kanan lalu bersalaman kepada orang yang ada di sebelah kanannya, ia menoleh ke kiri dan bersalaman dengan orang yang berada di sebelah kirinya, apa hukumnya? Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.
Jawaban: Bismillah, walhamdulillah. Sunnah hukumnya bersalaman dengan orang yang berada di sebelah kanan dan kiri setelah selesai shalat. Rasulullah Saw ketika bertemu dengan para shahabatnya, ia bersalaman dengan mereka. Ketika para shahabat bertemu, mereka juga bersalaman. Apabila orang yang shalat datang ke masjid, ia sampai di dalam shaf, maka hendaklah ia mengucapkan salam sebelum shalat. Setelah shalat, ia bersalaman dengan orang yang berada di sebelah kanan dan kirinya jika ia belum bersalaman dengan mereka sebelum shalat karena itu mengikuti perbuatan Rasulullah Saw.[1]
Pendapat Imam an-Nawawi:
Jika ia sudah bersalaman sebelum shalat, (kemudian ia ulang lagi setelah shalat), maka itu mubah (boleh), sebagaimana yang telah kami sebutkan.
Jika ia bersalaman dengan seseorang setelah shalat, orang tersebut belum bersalaman dengannya saat bertemu sebelum shalat, maka bersalaman itu sunnah menurut ijma’ berdasarkan hadits hadits shahih tentang itu.
وَأَصْلُ الْمُصَافَحَةِ سُنَّةٌ وَكَوْنُهُمْ حَافَظُوا عَلَيْهَا فِي بَعْضِ الْأَحْوَالِ لَا يُخْرِجُ ذَلِكَ عَن أصل السّنة
Asal bersalaman itu sunnah. Bahwa ada orang-orang yang bersalaman pada waktu-waktu tertentu (misalnya setelah selesai shalat), maka itu tidak mengeluarkannya dari asal Sunnah.[2]
Pendapat Imam ath-Thahawi:
المصافحة فهي سنة عقب الصلاة كلها وعند كل لقي
Bersalaman itu sunnah dilakukan setelah selesai semua shalat dan di setiap pertemuan.[3]
Referensi:
[1]Syekh Ibnu Baz, Majmu’ Fatawa Ibn Baz, Juz.XXX, hal.68.
[2]Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, juz.XI (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379 H), hal.55.
[3]Imam Ahmad bin Muhammad bin Ismail ath-Thahawi, Hasyiyah ‘ala Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idhah, (Mesir: al-Mathba’ah al-Kubra al-Amiriyyah, 1318 H),hal. 345.
Sumber: H. Abdul Somad, Lc., MA. 37 Masalah Populer, h. 161-163.