Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA. (Profil)
Dosen Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau
عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، عَنْ أَبِيهَا، أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى – أَوْ حَصًى – تُسَبِّحُ بِهِ، فَقَالَ: «أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا – أَوْ أَفْضَلُ -»، فَقَالَ: «سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ بَيْنَ ذَلِكَ، وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مِثْلُ ذَلِكَ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلُ ذَلِكَ»
Dari Aisyah binti Sa’ad bin Abi Waqqash, dari Bapaknya, sesungguhnya ia masuk bersama Rasulullah Saw, ada seorang perempuan, di depannya ada biji-bijian atau batu, ia bertasbih menggunakan biji-bijian dan batu itu. Maka Rasulullah Saw berkata, “Aku beritahukan kepada engkau dengan yang lebih mudah bagimu daripada ini atau lebih utama”. Kemudian Rasulullah Saw mengucapkan, “Maha Suci Allah sejumlah apa yang telah Ia ciptakan di langit. Maha Suci Allah sejumlah apa yang telah Ia ciptakan di bumi. Maha Suci Allah sejumlah apa yang telah Ia ciptakan diantara itu. Maha Suci Allah sejumlah apa yang telah Ia ciptakan. Allah Maha Besar seperti itu. Segala puji bagi Allah, seperti itu. Tidak ada tuhan selain Allah, seperti itu. Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan Allah, seperti itu”. (HR. Abu Daud).
Rasulullah Saw tidak melarang berzikir menggunakan biji-bijian atau batu sebagai alat hitung, hanya saja Rasulullah Saw menunjukkan cara yang lebih mudah. Oleh sebab itu para shahabat tetap menggunakan alat untuk menghitung zikir.
عَنِ الْقَاسِمِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ: كَانَ لِأَبِي الدَّرْدَاءِ نَوَى مِنْ نَوَى الْعَجْوَةِ حُسِبَتْ عَشْرًا أَوْ نَحْوَهَا فِي كِيسٍ وَكَانَ إِذَا صَلَّى الْغَدَاةَ أَقْعَى عَلَى فِرَاشِهِ، فَأَخَذَ الْكِيسَ فَأَخْرَجَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً يُسَبِّحُ بِهِنَّ فَإِذَا نَفَدْنَ أَعَادَهُنَّ وَاحِدَةً وَاحِدَةً، كُلُّ ذَلِكَ يُسَبِّحُ بِهِنَّ قَالَ: حَتَّى تَأْتِيَهُ أُمُّ الدَّرْدَاءِ فَتَقُولَ: يَا أَبَا الدَّرْدَاءِ إِنَّ غَدَاءَكَ قَدْ حَضَرَ فَرُبَّمَا قَالَ: ارْفَعُوهُ فَإِنِّي صَائِمٌ “
Dari al-Qasim bin Abdurrahman, ia berkata, “Abu ad-Darda’ memiliki biji-biji dari biji-biji kurma ‘Ajwah, menurut saya ada sepuluh atau seperti itu, berada dalam satu kantong. Apabila ia telah melaksanakan shalat Shubuh, beliau mendekat ke kasurnya lalu mengambil kantong tersebut dan mengeluarkan biji-biji itu satu per-satu, ia bertasbih menggunakannya. Apabila telah habis, ia ulangi lagi satu per-satu. Ia bertasbih menggunakannya hingga Ummu ad-Darda’ datang seraya berkata, “Wahai Abu ad-Darda’, sesungguhnya makananmu telah tiba”. Abu ad-Darda’ menjawab, “ Angkatlah, sesungguhnya aku puasa”[1]
فَبَيْنَمَا أَنَا عِنْدَهُ يَوْمًا، وَهُوَ عَلَى سَرِيرٍ لَهُ، وَمَعَهُ كِيسٌ فِيهِ حَصًى أَوْ نَوًى، وَأَسْفَلَ مِنْهُ جَارِيَةٌ لَهُ سَوْدَاءُ وَهُوَ يُسَبِّحُ بِهَا، حَتَّى إِذَا أَنْفَدَ مَا فِي الْكِيسِ أَلْقَاهُ إِلَيْهَا، فَجَمَعَتْهُ فَأَعَادَتْهُ فِي الْكِيسِ
“Ketika saya berada di sisi Abu Hurairah suatu hari, ia berada di atas kasur, bersamanya ada satu kantong, di dalamnya ada batu-batu atau biji-biji, di bawahnya ada hamba sahaya berkulit hitam. Abu Hurairah bertasbih menggunakan batu-batu dan biji-biji itu. Ketika batu-batu yang ada di dalam kantong itu habis, Abu Hurairah melemparkan kantong itu kepada hamba sahaya itu, lalu ia mengumpulkannya dan mengembalikannya ke dalam kantong dan menyerahkannya kepada Abu Hurairah”. (HR. Abu Daud).
وعن نُعَيْمُ بْنُ الْمُحَرَّرِ بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ جَدِّهِ أَبِي هُرَيْرَةَ، «أَنَّهُ كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ، فَلَا يَنَامُ حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ»
Dari Nu’aim bin al-Muharrar bin Abi Hurairah, dari Abu Hurairah Kakeknya, sesungguhnya Abu Hurairah memiliki benang, pada benang itu ada seribu simpul, Abu Hurairah tidak tidur hingga ia bertasbih menggunakan (seribu simpul itu).[2]
Imam asy-Syaukani berkata,
وَقَدْ سَاقَ السُّيُوطِيّ آثَارًا فِي الْجُزْءِ الَّذِي سَمَّاهُ ” الْمِنْحَةُ فِي السُّبْحَةِ ” وَهُوَ مِنْ جُمْلَةِ كِتَابِهِ الْمَجْمُوعِ فِي الْفَتَاوَى وَقَالَ فِي آخِرِهِ: وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ وَلَا مِنْ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ بِالسُّبْحَةِ بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّونَهُ بِهَا وَلَا يَرَوْنَ ذَلِكَ مَكْرُوهًا انْتَهَى.
Imam as-Suyuthi telah menyebutkan beberapa atsar dalam satu juz yang beliau beri judul al-Minhah fi as-Sabhah, kitab yang tergaung dalam al-Fatawa (kumpulan fatwa), di akhirnya beliau katakan, “Tidak ada riwayat dari seorang pun, baik dari kalangan Salaf mau pun Khalaf tentang larangan berzikir menggunakan tasbih, bahkan sebagian besar mereka menganggapnya dipakai saat berzikir, mereka tidak memakruhkannya. Selesai.[3]
Pendapat Imam Ibnu Taimiah:
وَعَدُّ التَّسْبِيحِ بِالْأَصَابِعِ سُنَّةٌ كَمَا قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلنِّسَاءِ: {سَبِّحْنَ وَاعْقِدْنَ بِالْأَصَابِعِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ} . وَأَمَّا عَدُّهُ بِالنَّوَى وَالْحَصَى وَنَحْوُ ذَلِكَ فَحَسَنٌ وَكَانَ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ وَقَدْ رَأَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ تُسَبِّحُ بِالْحَصَى وَأَقَرَّهَا عَلَى ذَلِكَ وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ كَانَ يُسَبِّحُ بِهِ.
وَأَمَّا التَّسْبِيحُ بِمَا يُجْعَلُ فِي نِظَامٍ مِنْ الْخَرَزِ وَنَحْوِهِ فَمِنْ النَّاسِ مَنْ كَرِهَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَكْرَهْهُ وَإِذَا أُحْسِنَتْ فِيهِ النِّيَّةُ فَهُوَ حَسَنٌ غَيْرُ مَكْرُوهٍ وَأَمَّا اتِّخَاذُهُ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ أَوْ إظْهَارُهُ لِلنَّاسِ مِثْلُ تَعْلِيقِهِ فِي الْعُنُقِ أَوْ جَعْلِهِ كَالسُّوَارِ فِي الْيَدِ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ فَهَذَا إمَّا رِيَاءٌ لِلنَّاسِ أَوْ مَظِنَّةُ الْمُرَاءَاةِ وَمُشَابَهَةِ الْمُرَائِينَ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ: الْأَوَّلُ مُحَرَّمٌ وَالثَّانِي أَقَلُّ أَحْوَالِهِ الْكَرَاهَةُ فَإِنَّ مُرَاءَاةَ النَّاسِ فِي الْعِبَادَاتِ الْمُخْتَصَّةِ كَالصَّلَاةِ وَالصِّيَامِ وَالذِّكْرِ وَقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ مِنْ أَعْظَمِ الذُّنُوبِ
Menghitung tasbih dengan jari jemari adalah sunnah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw kepada wanita, “Bertasbihlah, hitunglah dengan jari jemari, sesungguhnya jari jemari itu adalah ditanya dan akan dibuat berbicara”. Adapun menghitung zikir dengan biji-bijian atau batu-batu kecil dan seperti itu, maka baik. Sebagian shahabat melakukan itu. Rasulullah Saw melihat Ummul Mu’minin bertasbih menggunakan batu-batu kecil dan Rasulullah Saw mengakuinya. Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah bertasbih menggunakannya[4]
Pendapat Syekh Ibn ‘Utsaimin:
فإن التسبيح بالمسبحة لا يعد بدعة في الدين؛ لأن المراد بالبدعة المنهي عنها هي البدع في الدين، والتسبيح بالمسبحة إنما هو وسيلة لضبط العدد، وهي وسيلة مرجوحة مفضولة، والأفضل منها أن يكون عد التسبيح بالأصابع.
Sesungguhnya bertasbih menggunakan Tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama. Sedangkan bertasbih menggunakan Tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir). Tasbih adalah sarana yang marjuhah (lawan rajih/kuat) dan mafdhulah (lawan afdhal). Afdhalnya menghitung tasbih itu dengan jari jemari[5]
Referensi:
[1]Imam Ahmad bin Hanbal, az-Zuhd, hal.141.
[2]Abu Nu’ai m al-Ishfahani, Hulyat al-Auliya’, juz.I, hal.383
[3]Imam asy-Syaukani, Nail al-Authar, juz.II, (Idarah ath-Thiba’ah al-Muniriyyah), hal.358.
[4]Majmu’ Fatawa Ibn Taimiah, juz.XXII (Dar al-Wafa’, 1426H), hal.506.
[5]Syekh Ibnu ‘Utsaimin, Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Ibn ‘Utsaimin, Juz.XIII (Dar al-Wathan, 1413 H), hal.174.
Sumber: H. Abdul Somad, Lc., MA. 37 Masalah Populer, h. 179-181.