Benarkah Ayah dan Ibu Nabi Kafir?
Oleh: H. Abdul Somad, Lc., MA. (Profil)
Dosen Ilmu Hadis UIN Sultan Syarif Kasim Riau
Allah Swt berfirman,
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا (15)
Sesungguhnya al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan bahwa Allah tidak mengazab seorang pun kecuali setelah sampainya risalah kepada mereka. Siapa yang tidak sampai risalah kepadanya secara keseluruhan, maka ia tidak diazab sama sekali. Siapa yang risalah sampai kepadanya secara keseluruhan tapi tidak terperinci, maka ia diazab hanya pada perkara yang ia ingkari saja.[1]
Adapun hadits,
عَنْ أَنَسٍ، أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَيْنَ أَبِي؟ قَالَ: «فِي النَّارِ»، فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ، فَقَالَ: «إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ»
Dari Anas, sesungguhnya seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, di manakah bapakku?”. Rasulullah Saw menjawab, “Di neraka”. Ketika laki-laki itu pergi, Rasulullah Saw memanggilnya, “ Sesungguhnya bapakku dan bapakmu di neraka”. (HR. Muslim).
Yang dimaksud dengan bapak dalam hadits ini adalah paman Rasulullah Saw, yaitu Abu Thalib. Bukan Abdullah. Karena orang Arab biasa menyebut paman dengan sebutan (Abi). Abu Thalib masuk neraka karena tidak beriman setelah rasul diutus. Sedangkan Abdullah meninggal sebelum rasul diutus, maka ia termasuk ahlulfatrah; orang yang hidup sebelum rasul diutus.
Adapun hadits,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ لِي»
Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Aku memohon izin kepada Allah Swt akan mengizinkanku memohonkan ampun untuk ibuku. Tapi Ia tidak memberikan izin kepadaku. Aku meminta izin agar aku ziarah ke kuburnya. Ia mengizinkanku”. (HR. Muslim).
Hadits ini tidak menyatakan bahwa Aminah masuk neraka. Hadits ini hanya menyatakan bahwa Rasulullah Saw tidak diberi izin memohonkan ampunan. Tidak berarti kafir. Karena Allah Swt tetap mengizinkan ziarah ke kuburnya. Seandainya ia kafir, pastilah dilarang ziarah ke kuburnya.
Rasulullah Saw juga pernah dilarang mendoakan seorang shahabat, bukan karena ia kafir, tapi karena ia mati berhutang.
Hadits di atas mesti dita’wilkan, jika tetap bertahan dengan makna tekstual, maka bertentangan dengan nash al-Qur’an. al-Khathib al-Baghdadi menyebutkan satu kaedah dalam menerima hadits,
إِذَا رَوَى الثِّقَةُ الْمَأْمُونُ خَبَرًا مُتَّصِلَ الْإِسْنَادِ رُدَّ بِأُمُورٍ…أَنْ يُخَالِفَ نَصَّ الْكِتَابِ أَوِ السُّنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ , فَيَعْلَمُ أَنَّهُ لَا أَصْلَ لَهُ أَوْ مَنْسُوخٌ
Apabila seorang periwayat yang tsiqah (terpercaya) dan aman dari dusta, ia meriwayatkan hadits, sanadnya bersambung, riwayatnya ditolak disebabkan beberapa perkara… (diantaranya): jika riwayat itu bertentangan dengan nash al-Qur’an dan Sunnah Mutawatirah, maka diketahui bahwa riwayat itu tidak ada dasarnya atau mansukh.[2]
Oleh sebab itu Imam al-Bukhari menolak hadits berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي فَقَالَ: «خَلَقَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ التُّرْبَةَ يَوْمَ السَّبْتِ، وَخَلَقَ فِيهَا الْجِبَالَ يَوْمَ الْأَحَدِ، وَخَلَقَ الشَّجَرَ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ، وَخَلَقَ الْمَكْرُوهَ يَوْمَ الثُّلَاثَاءِ، وَخَلَقَ النُّورَ يَوْمَ الْأَرْبِعَاءِ، وَبَثَّ فِيهَا الدَّوَابَّ يَوْمَ الْخَمِيسِ، وَخَلَقَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ بَعْدَ الْعَصْرِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ، فِي آخِرِ الْخَلْقِ، فِي آخِرِ سَاعَةٍ مِنْ سَاعَاتِ الْجُمُعَةِ، فِيمَا بَيْنَ الْعَصْرِ إِلَى اللَّيْلِ»
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Rasulullah Saw menarik tangan saya, beliau bersabda, ‘Allah menciptakan tanah pada hari Sabtu, menciptakan bukit-bukit pada hari Ahad, menciptakan pepohonan pada hari Senin, menciptakan sesuatu yang tidak menyenangkan hari Selasa, menciptakan cahaya pada hari Rabu, menyebarkan binatang pada hari Kamis, menciptakan Adam setelah ‘Ashar pada hari Jum’at, ciptaan terakhir pada waktu terakhir hari Jum’at, antara Ashar ke malam”. Hadits ini disebutkan Imam Muslim dalam Shahihnya, ditolak Imam al-Bukhari karena bertentangan dengan ayat,
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa”. (Qs. Al-A’raf [7]: 54). Demikian disebutkan Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirnya.[3]
Maka pilihannya hanya ada dua, menerima nash hadits di atas, tapi dita’wil. Atau digugurkan sama sekali, karena bertentangan dengan nash yang mutawatir. Kaedah mengatakan,
وَمَتَى خَالَفَ خَبَرُ الْآحَادِ نَصَّ الْقُرْآنِ أَوْ إجْمَاعًا وَجَبَ تَرْكُ ظَاهِرِهِ
Apabila khabar Ahad bertentangan dengan nash al-Qur’an atau Ijma’, maka wajib meninggalkan makna zhahirnya.[4]
Allah Swt berfirman,
وَتَقَلُّبَكَ فِي السَّاجِدِينَ (219)
“dan (melihat pula) perobahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud”. (Qs. Asy-Syu’ara’ [26]: 219).
Makna ayat ini menurut Ibnu Abbas,
أَيْ فِي أَصْلَابِ الْآبَاءِ، آدَمَ وَنُوحٍ وَإِبْرَاهِيمَ حَتَّى أَخْرَجَهُ نَبِيًّا
Artinya, Allah melihat perubahan gerak kejadian Nabi Muhammad Saw di tulang sulbi Adam, kemudian Nuh, kemudian Ibrahim, hingga Ia mengeluarkan Muhammad (Saw) sebagai seorang nabi.[5]
Maknanya, Rasulullah Saw dikeluarkan dari tulang sulbi orang-orang yang sujud, orang-orang yang shaleh dan baik, bukan dari tulang sulbi orang kafir. Dalam hadits dinyatakan,
عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الْأَسْقَعِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى كِنَانَةَ مِنْ بَنِي إِسْمَاعِيلَ، وَاصْطَفَى مِنْ بَنِي كِنَانَةَ قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْشٍ بَنِي هَاشِمٍ، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ»
Dari Watsilah bin al-Asqa’, ia berkata, “ Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari Bani Isma’il. Ia pilih Quraisy dari Bani Kinanah. Ia pilih Bani Hasyim dari Quraisy. Dan Ia pilih aku dari Bani Hasyim”. (HR. Ahmad).
Komentar Syekh Syu’aib al-Arna’uth tentang kualitas hadits ini,
Sanadnya shahih menurut syarat Muslim. Para periwayatnya adalah para periwayat Tsiqah (terpercaya), para periwayat Shahih al-Bukhari dan Muslim, selain Abu ‘Ammar Syaddad –bin Abdillah al-Qurasyi-. Imam Muslim dan al-Bukhari menyebutkan riwayatnya dalam al-Adab al-Mufrad, ia tsiqah (terpercaya).
Hadits ini jelas menyebutkan bahwa Rasulullah Saw berasal dari orang-orang pilihan, bukan kafir. Rasulullah Saw mengaku tentang nasab dirinya,
إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الخَلْقَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِهِمْ مِنْ خَيْرِ فِرَقِهِمْ وَخَيْرِ الفَرِيقَيْنِ، ثُمَّ تَخَيَّرَ القَبَائِلَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ قَبِيلَةٍ، ثُمَّ تَخَيَّرَ البُيُوتَ فَجَعَلَنِي مِنْ خَيْرِ بُيُوتِهِمْ، فَأَنَا خَيْرُهُمْ نَفْسًا، وَخَيْرُهُمْ بَيْتًا
“Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk, Ia jadikan aku dari yang terbaik diantara mereka, dari yang terbaik dari kelompok mereka, dari yang terbaik diantara dua kelompok, kemudian Ia pilih diantara kabilah-kabilah, Ia jadikan aku dari kabilah terbaik, kemudian Ia pilih rumahrumah, Ia jadikan aku dari rumah terbaik diantara mereka. Aku jiwa terbaik dan rumah terbaik diantara mereka”. (HR. at-Tirmidzi, beliau nyatakan sebagai hadits hasan). Rasulullah Saw berasal dari nasab terbaik, bukan dari orang kafir.
Oleh sebab itu hati-hati ketika membahas orang tua Nabi Muhammad Saw. Karena iman tidak diakui tanpa cinta kepada Rasulullah Saw. Dalam hadits dinyatakan,
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَلَدِهِ وَوَالِدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Tidak beriman salah seorang kamu, hingga aku lebih ia cintai daripada anak kandungnya, daripada ayah ibunya kandungnya dan semua manusia”. (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Menyinggung orang tua Rasulullah Saw berarti menyakiti Rasulullah Saw. Orang yang menyakiti Rasulullah Saw diancam dengan ancaman keras,
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ رَسُولَ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (61)
“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah itu, bagi mereka azab yang pedih”. (Qs. At-Taubah [9]: 61).
Tidak jelas, entah apa motifasi orang-orang yang terus menerus membahas orang tua nabi dalam neraka, mungkin Allah ingin menunjukkan kemunafikannya. Karena hanya orang munafik dan kafir yang menyakiti Rasulullah Saw.
Referensi:
[1]Imam Ibnu Taimiah, Majmu’ al-Fatawa, Juz.XII (Dar al-Wafa’, 1426H), hal.493.
[2]Al-Khathib al-Baghdadi, al-Faqih wa al-Mutafaqqih, (Dar Ibn al-Jauzi, 1417H), hal.194.
[3]Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz.VII (Dar Thibah, 1420H), hal.168.
[4]Imam an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Juz.IV, hal.432.
[5]Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, Juz.XIII (Dar ‘Alam al -Kutub, 1423H), hal.144.
Sumber: H. Abdul Somad, Lc., MA. 37 Masalah Populer, h. 202-205.