Cadar Bukan Ajaran Islam: Perspektif Sejarah-Sosial-Kultural
Oleh: Prof. Sumanto Al Qurtuby, Ph.D. (Profil)
Profesor King Fahd University-Arab Saudi
Waktu itu, sejenak saya berpikir, siapa yang “mengajarkan” tata-busana ini? Dari mana si pengajar (orang tua maupun guru) mendapatkan “wangsit” tentang cadar ini? Saya perhatikan, sejumlah kelompok Islam di Indonesia itu jauh “lebih ekstrim” (dan lebih “unyu-unyu”) ketimbang masyarakat Arab di Timur Tengah. Bahkan termasuk masyarakat Saudi sendiri yang dikenal sangat konservatif dalam tata-busana tidak seekstrim dan seunyu itu.
Jangankan cadar, di Saudi, abaya dan hijab saja baru dikenakan di publik untuk anak-anak perempuan yang sudah akil-balig (kira-kira perempuan berumur 13/14 tahun ke atas yang susunya sudah kelihatan mlenuk dan njendol) bukan untuk anak-anak balita. Anak-anak perempuan yang belum akil-balig, bebas-merdeka mau memakai pakaian apa saja: celana jeans, kaos, dlsb.
Nah bandingkan dengan yang saya lihat tadi: anak-anak balita dihijabi dan dicadari. Saya perhatikan ada anak-anak yang tidak nyaman dihijabi dan dicadari karena udara yang panas tetapi orang tua mereka tampak memaksa mereka. Mungkin mereka beranggapan bahwa mengenakan hijab dan cadar itu adalah “tuntutan Syariah Islam” untuk semua perempuan Muslimah dari berbagai usia: tua-muda, remaja-anak-anak.
Inilah dampak dari beragama tapi miskin wacana. Beragama tapi nol-jumbo wawasan. Tahukah Anda bahwa cadar itu bukan doktrin dan ajaran Islam? Bahkan murid-murid Arabku sendiri menganggap cadar itu tidak lebih sebagai budaya sebagian masyarakat Arab dan Timur Tengah.
Jika kita mempelajari sejarah percadaran ini, yaitu sehelai kain penutup wajah bagi perempuan khususnya (karena ada cadar yang dikenakan bagi kaum lelaki seperti kelompok Suku Thawareq di Afrika utara), maka kita akan tahu bahwa praktik cadar ini sudah dilakukan ribuan tahun sebelum Islam lahir di kawasan Arab, khususnya sejak zaman Imperium Assyria kuno di kawasan Mesopotamia. Kelak, tradisi cadar ini dilanjutkan di zaman Byzantium dan dipopulerkan di masa Imprerium Persia. Ketika para laskar Islam menaklukkan Byzantium and Persia, diadopsilah tradisi cadar itu ke masyarakat Muslim Arab dan Timur Tengah pada umumnya.
Karena praktik bercadar ini sudah ada jauh sebelum Islam, terutama melalui pengaruh peradaban Byzantium dan Persia, maka wajar jika sejumlah perempuan di Timur Tengah pra-Islam sudah mengenakan cadar itu. Lihat karya Strabo, seorang geographer Yunani di abad pertama Masehi, yang melukiskan para perempuan Persia bercadar di zaman pra-Islam. Juga, penulis Kristen Tertullian di abad ke-3 M, di mana ia menulis tentang fenomena perempuan bercadar di Jazirah Arab.
Meskipun Islam diperkenalkan pada abad ke-7, kaum perempuan Muslimah awal belum bercadar. Ratusan tahun kemudian, tradisi bercadar ini baru diperkenalkan. Puncaknya disosialisasikan oleh para penguasa Kesultanan Mamluk di Mesir (sekitar abad ke-13 M) yang membuat peraturan superketat yang mengatur tata-busana kaum perempuan yang diwajibkan mengenakan cadar di area publik. Kelak, mazhab Hanbali yang secara spesifik memberi aturan tentang bercadar ini. Mazhab Islam lain sangat fleksibel.
Meskipun sama-sama memakai cadar tetapi fungsi dan tujuan bercadar berbeda dari zaman ke zaman, dari masyarakat ke masyarakat lain. Ada semacam “evolusi makna” dalam bercadar ini
Apakah semua perempuan Saudi memakai cadar kalau bepergian, keluar rumah, dan di area publik? Tidak. Anak-anak perempuan yang belum akil-baligh (kira-kira di bawah 13/14 tahun) tidak memakai cadar. Perempuan mudi dan dewasa pun tidak semua mengenakan cadar. Banyak yang tidak memakainya. Karena mereka menganggap cadar bukan ajaran Islam (beda dengan hijab), maka mereka fleksibel soal cadar ini.
Perempuan yang mengenakan cadar pun karena alasan yang bersifat sosial-kebudayaan bukan teologi-keagamaan, yakni untuk merawat “tradisi dan budaya” yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur mereka, yaitu masyarakat Arab Baduin yang tergolong “pastoral nomad” (nomadic pastoralists) dalam pola hidupnya, yakni hidup berpindah-pendah bersama keluarga dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari penghidupan dan sumber-sumber ekonomi.
Sebagian perempuan yang bercadar ini melepas cadarnya kalau sedang bepergian ke Luar Negeri (keluar dari teritori Saudi). Mereka beralasan cadar hanya tradisi/budaya Jazirah Arabia karena itu tidak ada alasan buat mereka untuk tetap memakainya kalau berada diluar Saudi. Meski begitu, ada juga yang tetap mengenakan cadar meskipun berada diluar Saudi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Apakah di Saudi hanya perempuan penganut Salafi-Wahhabi saja yang bercadar? Tidak. Siapa saja boleh bercadar. Baik pengikut Salafi-Wahabi, Sunni, bahkan Syiah boleh mengenakan cadar, dan memang banyak dari mereka yang bercadar (terutama perempuan pemudi, dewasa dan emak-emak). Seperti saya jelaskan, karena cadar (khususnya jenis “niqab”) dianggap sebagai “tradisi dan budaya Jazirah Arabia”, maka perempuan dari kelompok Islam manapun (termasuk Syiah) di kawasan ini bercadar (kalau berminat memakainya tentunya karena memang tidak ada paksaan).
Apakah hanya perempuan Arab di Saudi saja yang mengenakan cadar? Tidak. Selain Arab Saudi, sebagian perempuan Bahrain, Kuwait, Oman, Yaman, dan Uni Emirat Arab juga mengenakan cadar karena merasa berbagi budaya di Semenanjung Arabia. Selain itu, masyarakat Arab yang masih kuat “kultur Beduin”-nya juga mengenakan cadar, bukan hanya di Semenanjung Arabia saja tetapi juga di Suriah, Irak, dlsb. Selebihnya, perempuan Arab sama sekali tidak bercadar. Bahkan yang tidak berhijab (penutup rambut/kepala) pun banyak melimpah ruah, meskipun mereka mengenakan abaya (pakaian tradisional perempuan Arab).
Apakah semua mazhab dalam Islam menginstruksikan tentang pemakaian cadar bagi kaum perempuan? Tidak. Hanya mazhab Hanbali (dan turunannya, termasuk Salafi-Wahabi) saja yang cukup ketat dalam persoalan cadar ini. Mazhab-mazhab Islam lain sangat longgar dan fleksibel. Karena Saudi secara formal mengikuti mazhab Hanbali, maka tidak heran jika masalah percadaran ini begitu dominan disini. Tetapi pengikut mazhab Hanbali dan turunanya bukan hanya di Saudi saja, melainkan juga di negara-negara lain. Karena itu tidak heran jika kita menyaksikan perempuan bercadar di India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan, dan bahkan Indonesia.
Meskipun mazhab Hanbali yang paling jelas tentang instruksi pengenaan cadar ini, perempuan yang memakai cadar tidak secara otomatis bermazhab Hanbali. Sebagian perempuan mengenakan cadar karena berbagai alasan: dari alasan yang bersifat sosial-budaya (Semenanjung Arabia) atau memelihara warisan tradisi perempuan Arab Baduin sampai alasan pragmatis (supaya tidak terkena debu dan terik matahari) dan keamanan (misalnya supaya tidak diganggu oleh kaum lelaki yang burungnya ngacengan he he).
Dalam konteks Timur Tengah, apakah hanya perempuan Arab Muslimah saja yang mengenakan cadar? Tidak. Perempuan Yahudi Ortodoks juga bercadar. Perempaun Arab Kristen ortodoks juga bercadar. Meskipun tentu saja ada yang tidak. Mereka mengenakan cadar karena menganggap cadar sebagai tradisi dan kebudayaan perempuan yang tinggal di kawasan Timur Tengah, baik Arab, Yahudi, Persia, Kurdi, dan lainnya. Baik Muslim maupun bukan.
Apakah umat Yahudi, sebagai “kakak kesatu” kaum Muslim dalam tradisi “Agama Semit”, yang pertama kali memperkenalkan pemakaian cadar bagi perempuan? Jelas bukan.
Apakah umat Kristen, sebagai “kakak kedua” umat Islam, yang semula memperkanalkan penggunaan cadar di kawasan Timur Tengah? Juga bukan.
Atau mungkin “si ragil” umat Islam dan masyarakat Muslim Arab yang menemukan dan memperkenalkan praktik pemakaian cadar? Kalau umat Yahudi dan Kristen saja bukan, apalagi Muslim, lebih bukan lagi dong. Kepriben si rika.
Lalu, kenapa sebagian umat Yahudi dan umat Islam mengklaim kalau cadar adalah “properti” eksklusif mereka? Ya biarin saja. Cuma klaim doang. Sebagian umat manusia memang sukanya main kapling. Jangankan cadar, surga aja dikapling he he.
Seperti saya sebutkan sebelumnya, dalam catatan sejarah peradaban manusia di Timur Tengah atau “Asia Barat” atau “Timur Jauh” atau “Middle Eastern” apapun namanya, masyakarat zaman Imperium Assyria (sekitar 5 ribu SM) yang pertama kali memperkenalkan pemakaian cadar ini.
Yang saya maksud dengan “cadar” disini adalah sehelai kain penutup muka. Menarik memperhatikan asal-usul kata “cadar” ini. Dugaan saya kata “cadar” ini berasal dari “chadar”, “chaddar” atau “chuddar”, yaitu pakaian tradisional Hindu (dan Muslim) di India yang menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai kaki termasuk muka (sebagian atau seluruhnya). Tetapi menariknya, kata “cadar” dalam Bahasa Indonesia mengalami “pengerucutan atau pengkeretan makna” hanya merujuk pada “penutup muka/wajah” saja. Dugaan saya kata “chadar” ini diadopsi dari Bahasa Persia “chador” yang berarti kain penutup tubuh seperti “jarik” di Jawa yang sangat fleksibel pemakaiannya.
Dalam perkembangannya, masyarakat menamakan dan mendesain “cadar” ini secara berlainan. Umat Yahudi menyebutnya “frumka”. Ada yang menamakan “niqab” (di Arab Teluk), “chadri” atau “paranja” (di Asia Tengah”), “burqa” atau “burqu” atau “purdah” (di Afganistan, Pakistan, dan sebagian kawasan Arab). Ada pula yang bernama “khimar”, dlsb.
Apapun namanya, yang menarik adalah pemakaian cadar ini memiliki makna yang berlainan dari masa ke masa, dari masyarakat ke masyarakat. Di zaman Assyria dulu, cadar adalah simbol “kelas sosial” elit masyarakat. Hanya perempuan aristokrat dan keluarga bangsawan yang memakai cadar ini. Kalau ada perempuan budak dan “kelas rendahan” ketahuan memakai cadar, maka mereka akan dihukum. Jadi, cadar adalah semacam penanda atau “identitas masyarakat elit”.
Tradisi bercadar bagi perempuan ini kemudian diteruskan oleh Imperium Byzantium dan kemudian Imperium Persia. Dari kedua imperium inilah, terutama Persia (kini Iran), kemudian tradisi itu diperkenalkan di kawasan Arabia. Itulah sebabnya kenapa sebagian perempuan Iran juga bercadar hingga sekarang.
Pada masa perkembangan Islam awal di abad ke-7 M, tradisi cadar belum populer dan memasyarakat di kalangan perempuan Arabia. Berdasarkan rekonstruksi sejarah sinilah, maka banyak ilmuwan ahli kajian Islam seperti Qasim Amin dalam “Emansipasi Perempuan” yang menyebut cadar sebagai “social custom” saja.
Yang menarik, sejumlah teks Islam (Hadis) menyebut istri-istri Nabi Muhammad bercadar jika di ruang publik yang juga, antara lain, dimaksudkan untuk membedakan mana perempuan istri Nabi dan mana yang bukan. Ini artinya, “perempuan kebanyakan” waktu itu belum bercadar. Ini juga berarti bahwa fungsi cadar awalnya dalam sejarah Islam ini kurang lebih sama seperti di zaman Assyria: sama-sama sebagai “penanda kelompok sosial”.
Lalu, sejak kapan perempuan Arab / Muslim kebanyakan mengenakan cadar? Sejak rezim-rezim Islam, ratusan tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, membuat dan memaksakan aturan-aturan hukum tentang cadar dan mewajibkan kaum perempuan memakainya di ruang-ruang publik. Puncaknya nanti di rezim Kesultanan Mamluk. Yang menarik “rezim Iran” juga melakukan hal yang sama tentang aturan percadaran ini.
Bagaimana kisah selanjutnya tentang dinamika perkembangan pemakaian cadar ini dalam masyarakat Islam, baik di kawasan Arab, Iran, maupun Asia Tengah?
Seperti saya tulis sebelumnya, menurut catatan sejarah, tradisi atau budaya cadar di kawasan Timur Tengah awalnya bukan diperkenalkan oleh masyarakat Arab maupun Yahudi. Tetapi berasal dari peradaban Assyria, sekitar 25 abad Sebelum Masehi, jauh sebelum kelahiran Islam di Semenanjung Arabia di abad ke-7 M. Umat Islam Arab, kelak, hanya mengadopsi tradisi bercadar yang diperkenalkan oleh peradaban neo-Assyria, terutama Persia.
Assyria adalah sebuah kerajaan/imperium Mesopotamia kuno yang paling utama di kawasan Timur Tengah (dan Suriah atau Levant). Di kawasan inilah kelak menjadi pusat utama komunitas Kristen Syria dan embrio lahirnya “Gereja Timur” dan “Kristen Timur” yang menggunakan Syriac sebagai “bahasa suci” dalam liturgi atau acara-acara ritual keagamaan.
Dalam tradisi masyarakat Assyria dulu, cadar merupakan simbol kelas sosial elit masyarakat. Cadar adalah penanda “status sosial” seorang perempuan. Hanya kalangan bangsawan dan perempuan aristokrat saja yang menggunakan cadar ini. Para perempuan budak dan “wong cilik” haram memakai cadar, dan kalau ketahuan memakainya, maka mereka akan dihukum cambuk di hadapan massa. Disini kita juga lihat, hukum cambuk yang diadopsi Islam sebetulnya juga berasal dari tradisi non-Islam dan non-Arab.
Dalam perkembangannya, cadar ini mengalami proses evolusi pemaknaan sehingga mengalami perbedaan makna dan fungsi dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Di zaman Afganistan dan Asia Tengah kuno, seperti yang pernah ditulis oleh Professor Muhammad Qadeer dari Queen’s University, cadar adalah perlambang “kelas menengah”: bukan “kelas elit” maupun “kelas bawah”. Perempuan “kelas elit” malah haram bercadar.
Dalam konteks masyarakat Arab pra-Islam, kata “burqa” (yang kini merujuk pada salah satu bentuk “cadar”) pernah dipakai di awal abad ke-7 M, tetapi merujuk pada pengertian “sehelai kain pelindung tubuh khususnya di musim dingin”. Kamus Bahasa Arab “Lisan al-Arab”, memberikan dua contoh pemakaian kata “burqa” dalam tradisi Arab pra-Islam, yaitu semacam selimut untuk binatang di musim dingin dan kain semacam syal untuk perempuan desa.
Di masyarakat Arab pra-Islam, perempuan, baik perempuan “kelas bawah” maupun “kelas elit” tidak bercadar. Pada awal-awal perkembangan Islam, cadar hanya eksklusif dikenakan para istri Nabi Muhammad pada waktu di ruang publik sebagai “pembeda” dan “penanda” antara perempuan istri Nabi dan bukan.
Praktik bercadar ini baru cukup marak di kalangan perempuan Arab ratusan tahun setelah Islam lahir, yaitu sekitar abad ke-9/10 pada waktu lahirnya banyak hukum Islam (fiqih) dan mazhab yang mengatur “tetek-bengek” (maaf, menyebut kata ini lagi he he) tentang kehidupan perempuan. Aturan-aturan hukum Islam itu dalam banyak hal merugikan kaum perempuan.
Puncaknya kelak di zaman Kesultanan Mamluk di Mesir dan Afrika Utara di mana kebijakan ketat bercadar itu diterapkan dan perempuan dilarang melakukan aktivitas di ruang publik. Disini, cadar bukan lagi sebagai penanda “kelas elit” perempuan seperti di zaman Assyria tetapi sebagai “simbol ketertindasan”, korban kebijakan politik rezim Sunni Mamluk yang mengatur tentang “syariat tubuh”.
Bukan hanya “rezim Sunni” saja yang ketat dalam mengatur tubuh perempuan lewat cadar (dan tata-busana). Rezim Syiah juga sama. Sangat ketat dalam bertata-busana. Kelak, Raja Amanullah di Iran di awal tahun 1920an pernah membuat kejutan di masyarakat Iran dengan membolehkan istrinya, Ratu Soraya, membuka cadar di tempat umum. Dia mengatakan, “Islam tidak mengsyaratkan perempuan untuk menutup kaki, tangan dan wajah mereka. Menutup wajah dengan cadar hanyalah budaya sebagian masyarakat di Timur Tengah bukan doktrin dan ajaran keislaman”
Sumber: https://web.facebook.com/Bungmanto