Sejarah dan Perjuangan AGH. Abd Rahman Ambo Dalle, Lengkap dari Lahir Hingga Wafat.
Seminar Nasional Penganugerahan Pahlawan Nasional Anregututta KH Abd Rahman Ambo Dalle digelar di Auditorium Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Parepare, Parepare, Jumat (26/10/2018) ini.
Seminar digelar Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI) Parepare.
Masa Kecil
Ambo Dalle dilahirkan di Desa UjungE, Kecamatan Tanasitolo, sebuah kampung di pinggiran Danau Tempe yang terletak sekitar tujuh km dari Kota Sengkang, Ibu Kota Kabupaten Wajo.
Tak tercatat tangga kelahirannya. Dalam berbagai literatur dan data, Sang Maha Guru ditulis lahir pada hari Selasa siang tahun 1900. Ayahnya bernama Puang Ngati Daeng Patobo dan ibunya Puang Candara Dewi (Puang Cendaha).
Saat mengandung, konon Puang Cendaha bermimpi melihat cahaya yang keluar dari perutnya.
Bayi itu diberi nama Ambo Dalle. Dalam Bahasa Bugis, Ambo berarti bapak dan Dalle berarti rezeki. Jadi, Ambo Dalle berarti sumbernya rezeki.
Ambo Dalle mula-mula belajar mengaji pada tantenya, I Midi. Tapi hanya berlangsung 15 hari. Puang Cendaha khawatir Ambo Dalle terpengaruh dengan perilaku anak sebayanya yang lebih banyak bermain saat pergi mengaki di rumah I Midi, maka sang ibu memutuskan mengajari langsung anaknya di rumah sendiri sehingga lebih mudah mengawasinya.
Setamat mengaji, Ambo Dalle dimasukkan mengaji tajwid (massara’ baca) pada pengajian yang diasuh oleh Puang Caco, kakeknya, yang kebetulan Imam UjungE. Selain belajar, ia juga membantu kakeknya mengajari anak-anak lainnya.
Selanjutnya, Ambo Dalle melanjutkan pelajaran tajwidnya (baca pituE), menghafal Al Quran, serta belajar Nahwu dan Sharaf pada H Muhammad Ishaq, ulama setempat yang dikenal ahli dalam bidang ilmu tersebut, selama tiga bulan.
Dalam usia tujuh tahun, Ambo Dalle sudah mampu menghafal Al Quran dengan baik. Sejak itulah ia populer di kalangan masyarakat Tancung dan sekitarnya (Wajo) dan banyaklah anak-anak yang berdatangan untuk belajar mengaji kepadanya.
Karena di Tanasitolo belum ada lembaga pendidikan formal, Ambo Dalle ke Sengkang yang berjarak 7 km dari kediamannya, untuk menuntut ilmu lebih lanjut. Di kota ini ia memasuki sekolah Volk-School (sekolah desa tiga tahun) dan kursus Bahasa Belanda di Hollands Inlands School (HIS). Yang dapat diterima di sekolah ini hanya kaum bangsawan pribumi.
Ambo Dalle muda nyaris tak punya waktu untuk bersantai. Hampir seluruh waktunya digunakan untuk belajar. Kalaupun ada waktu luang yang tersisa, itu digunakan untuk berolah raga. Olah raga yang digemarinya adalah sepak bola. Ambo Dalle dikenal sebagai pemain yang andal.
“Oleh teman-temannya, ia dijuluki si rusa karena memiliki nafas kuat dan lari yang kencang. Dalam kesebelasan, ia bisa menempati posisi mana saja. Baik posisi penyerang, gelandang, maupun pertahanan belakang. Selain itu, ia pun bisa memainkan sepak raga dengan gaya yang menawan,” jelas sejarawan DDI, Ahmad Rasyid Amberi Said.
Waktu itu, banyak ulama yang berasal dari Wajo yang belajar di Mekah pulang kampung membuka pengajian. Pelajaran yang diberikan meliputi Tafsir, Fiqhi, Nahwu dan Sharaf.
Pemerintah Kerajaan Wajo, Arung Matoa dan Arung Enneng, sangat senang pada ulama. Karena itu, kerajaan sering kedatangan tamu dari Saudi Arabiyah, dan tinggal bersama selama beberapa waktu untuk memberikan pengajaran atau pengajian. Antara lain Syekh Mahmud Al-Jawad, Sayyid Abdullah Dahlan, dan Sayyid Hasan Al-Yamani (kakek Dr. Zaki Yamani, mantan Menteri Perminyakan Arab Saudi).
Ambo Dalle tidak melewatkan kesempatan baik itu. Dia menimba ilmu dari ulama-ulama tersebut dengan mengikuti pengajian mereka dengan cara halakah (duduk bersila).
Rupanya, ia tidak merasa puas dengan mempelajari bidang agama saja. Maka, Ambo Dalle meninggalkan Wajo menuju Makassar dan belajar pada sekolah guru yang dilaksanakan Syarikat Islam (SI). Setelah tamat, ia kembali ke Sengkang memperdalam ilmu agamanya.
Tahun 1928, KH Muhammad As’ad Bin Abd. Rasyid Al-Bugisy, ulama Bugis yang berasal dari Wajo dan lahir di Mekah pada tahun 1907, kembali ke tanah leluhurnya dalam usia 21 tahun.
Kiai As’ad hafal Al Quran pada usia 14 tahun. Dia membuka pengajian di Sengkang yang dilaksanakan di masjid dan di rumahnya sendiri.
Dalam memberikan pengajian, Kiai As’ad menggunakan bahasa Bugis dengan fasih sebagai bahasa pengantar, meskipun ia sendiri lahir dan dibesarkan di Mekah. Hal itu karena bahasa Bugis sebagai bahasa ibu tetap dipelihara dan digunakan dalam lingkungan rumahnya.
Gabung MAI Sengkang
Suatu ketika, Kiai As’ad (Anregurutta Sade’) mengunjungi tempat Ambo Dalle memberikan pengajian Al Quran. Santrinya cukup banyak. Saat itu, selain mengajar mengaji, Ambo Dalle juga telah diangkat sebagai jurutulis pembantu pada kerajaan bawahan (Sullewatang) Tancung.
“Itu karena ia mempunyai kelebihan diantara kelebihan lainnya, yakni kemahiran dan kecepatan tangan kirinya menulis indah sama dengan tangan kanannya,” ujar Ahmad Rasyid.
Melihat Ambo Dalle, Anregurutta As’ad mempunyai firasat bahwa orang ini bakal menjadi ulama besar. Ia lantas mengajaknya bergabung dalam pengajiannya, hal mana ternyata dipenuhi oleh Ambo Dalle.
Sejak itu, ia mengikuti pengajian Anregurutta As’ad dengan tekun. Rupanya, sang kiai sering mengamati secara diam-diam santrinya yang satu ini. Dalam penglihatanya, Ambo Dalle adalah adalah murid yang cerdas.
“Suatu ketika, diadakan ujian secara lisan dengan menanyakan berbagai pelajaran yang pernah dipelajari. Ternyata, jawaban Ambo Dalle lah yang dinilai paling benar dan tepat. Ia mampu menjawab seluruh pertanyaan dengan baik. Ia pun dipermaklumkan oleh Anregurutta As’ad sebagai asisten karena ilmunya dianggap setaraf dengan sang guru,” jelas Ahmad Rasyid.
Mulanya, Ambo Dalle tidak percaya dengan pengakuan gurutta itu. Tetapi, karena hal itu keluar dari lubuk hati Anregurutta, spontan Ambo Dalle menjabat dan mencium tangan Anregurutta As’ad sebagai tanda penghormatan murid pada gurunya.
Bersamaan dengan itu, Arung Matowa Wajo dan Arung Lili (Arung EnnengE) menemui Anregurutta As’ad dan menyarankan agar pengajian dengan sistem halaqah (mengaji tudang) yang sudah berkembang ditingkatkan dengan membuka madrasah atau sekolah, selain tetap mempertahankan sistem lama.
Pemerintah kerajaan bersedia membantu dengan menyiapkan fasilitas yang dibutuhkan.
Usul diterima dengan baik oleh Anregurutta. Pada tahun 1930 dibukalah madrasah dengan tingkatan awaliyah, ibtidaiyah, i’dadiyah, dan tsanawiyah. Madrasah yang kemudian bernama Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) diberi lambang yang diciptakan sendiri oleh Ambo Dalle atas persetujuan Anregurutta As’ad dan ulama lainnya.
“Bukan hanya itu, ia pun ditunjuk sebagai pimpinan perguruan yang baru didirikan itu. Sementara Anregurutta As’ad tidak melepaskan diri begitu saja. Beliau pun turut pula mengajar sambil meneruskan pengajian sistem halaqah seperti semula,” kata Ahmad Rasyid.
Saat itu, Ambo Dalle memasuki babak baru dalam kehidupannya sebagai manusia. Tahun 1930 ia memasuki kehidupan rumah tangga dengan mengawini Andi Tenri. Namun, karena tidak membuahkan keturunan, bahtera rumah tangga mereka tidak berlangsung lama. Ia lalu kawin dengan Puang Sohrah, yang tak lama kemudian diceraikannya juga.
Selanjutnya, Ambo Dalle menikah dengan Andi Selo yang masih ada hubungan dengan Anregurutta As’ad. Dari mereka Ambo Dalle tidak memperoleh seorang keturunan pun.
Belajar di Mekah
Tahun 1935, Ambo Dalle untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci ini ia menetap selama sembilan bulan untuk memperdalam ilmu agama yang pernah dipelajarinya di Wajo.
Pada salah seorang Syekh tempatnya belajar, Syekh Ahmad Sanusi, ia memperoleh sebuah kitab, Khazinatul Asraril Qubra. Menurut penuturan gurunya, dalam kitab itu ia dapat membaca dan mempelajari apa saja yang ingin diketahuinya tentang hal-hal gaib. Dari kitab tersebut ia mengenal rahasia Waliyullah di zaman dahulu. Beliau lalu mengamalkan ilmu yang didapatnya itu.
Ketika kembali ke Sengkang, pesantren yang dibinanya itu semakin populer. Sejak saat itu ia dipanggil Gurutta oleh para santri, yang artinya guru kita. Santri-santrinya berdatangan dari berbagai penjuru. Diantaranya ada yang berasal dari Soppeng Riaja, sebuah kerajaan subur dan makmur yang berada di pesisir barat Sulawesi Selatan.
Hijrah ke Mangkoso
HMYusuf Andi Dagong Petta Soppeng, raja terakhir dari Kerajaan Soppeng Riaja rupanya tertarik dengan sistem pendidikan yang diadakan oleh Anregurutta As’ad di Sengkang. Ia pun bermaksud mendirikan perguruan yang sama.
Hal itu terdorong oleh kenyataan bahwa kondisi beragama rakyatnya sangat mencemaskan. Ini tercermin dari mesjid yang didirikan dalam wilayah kerajaanya seringkali hanya kosong melompong dari jamaah. Menurutnya, untuk menyemarakkan mesjid maka harus didirikan lembaga pendidikan. Dan, MAI Sengkang lah tumpuan harapannya.
Berdasarkan hasil pertemuannya dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama, Petta Soppeng lalu mengirim utusan ke Sengkang dan menjumpai Anregurutta As’ad mengutarakan permintaan Arung dan masyarakat Soppeng Riaja.
Rupanya, keinginan tersebut tidak dapat diterima oleh Anregurutta. Beliau tidak menginginkan ada cabang perguruan karena dikuatirkan akan mempengaruhi kualitasnya. Selain itu, guru yang diminta oleh utusan Soppeng Riaja adalah Gurutta Ambo Dalle, murid kesayangan sekaligus asisten dan tulang punggung pesantrennya.
“Namun, dengan berprinsip pada falsafah bugis Icauitu gettengnge ri kekkee, Arung Soppeng Riaja tidak berputus asa. Diperintahkannya utusan itu kembali lagi ke Sengkang. Melihat kegigihan utusan Soppeng Riaja itu, Anregurutta As’ad akhirnya luluh juga,” jelas Ahmad Rasuid yang juga Pimpinan Kampus I Pondok Pesantren DDI Mangkoso.
Kiai As’ad menyerahkan kepada Gurutta Ambo Dalle untuk mengambil keputusan. Lalu, pada Hari Rabu tanggal 29 Syawal 1357 H atau 21 Desember 1938 M, Gurutta Ambo Dalle memulai babak baru perjuangannya.
Hari itu, ia secara resmi meninggalkan Sengkang, hijrah ke Mangkoso bersama istri, kedua orangtua, serta beberapa orang santri seniornya. Pemerintah kerajaan sudah menyiapkan segala fasilitas yang dibutuhkan, mulai dari rumah, padi, hingga nafkah bulanannya.
Di Mangkoso, calon santri sudah menunggu sehingga hari itu juga ia langsung memulai pengajian perdana di Masjid Jami Mangkoso. Pesantren yang baru dibukanya itu diberi nama yang sama dengan pesantren Anregurutta As’ad di Sengkang, yaitu Madrasah Arabiyah Islamiyah (MAI) meski keduanya tidak ada hubungan organisasi.
Mangkoso adalah tempat yang tenang, penduduknya hidup tenteram. Jangankan perampok atau pencopet, pencuri sekecil apapun tidak pernah ada. Bahkan, bila ada diantara warga melakukan perbuatan zina, Gurutta langsung diberitahu. Beliau lalu menyampaikan kepada masyarakat agar orang tersebut dikeluarkan dari kampung.
Gurutta meminta agar tradisi lama masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memuliakan batu-batu kubur dan pohon-pohon besar segera dihentikan.
Gurutta bahkan memerintahkan agar batu-batu nisan yang telah dibongkar itu dijadikan pondasi jalan agar bisa diinjak oleh masyarakat untuk menunjukkan bahwa batu-batu tersebut tidak punya kekeramatan apa-apa.
Di masa pemerintahan Arung Petta Cowa, ia sangat mempertahankan tradisi tersebut. Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Petta Coa memerintahkan supaya amalan yang mengandung unsur khurafat itu segera dihentikan.
Pengalaman Gaib Laelatul Qadr
Gurutta adalah manusia biasa yang memiliki keluarbiasaan. Hal itu dibuktikan oleh berbagai pengalaman gaib yang tidak lazim dialami oleh manusia biasa.
“Bagi orang luar yang tidak memiliki hubungan emosional atau tidak pernah bergaul secara dekat dengan Gurutta, mungkin peristiwa-peristiwa itu dianggap sebagai sesuatu yang bersifat irasional atau kontroversi,” kata Ahmad Rasyid.
Menurutnya, sejak tinggal di Mangkoso, banyak kejadian luar biasa terjadi. Dalam mengarang kitab misalnya, berawal dari mimpi membaca kitab yang langsung bisa dihafalnya. Saat bangun dari tidur, hafalan itu kemudian ditulis oleh Abdullah Giling, santri terdekat merangkap pemboncengnya yang sangat bagus tulisan Arabnya.
Di antara kitab-kitab yang telah dikarang oleh Gurutta adalah Al-Qaulus Shadiq fi ma’rifatil Khalaqi, Arrisalah Albahiyyah fil Aqail Islamiyah, Al Hidayatul Jaliyyah dan Maziyyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (bidang akidah). Di bidang syariah ada kitab Mursyidut Tullab dan Addurusul Fiqhiyyah, serta yang lain-lainnya.
Mantan Dekan Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, HM Busairi Juddah, yang menjadi santri di Mangkoso tahun 1940-an berkisah bahwa seringkali Gurutta berlama-lama di kamar mandi, tetapi setelah keluar ia menyuruh Abdullah Giling untuk menulis syair. Ini berarti bahwa Gurutta berfikir sambil menyusun syair ketika berada di dalam kamar mandi.
“Beliau pertama kali mengalami turunnya Lailatul Qadr pada 27 Ramadan tahun pertama mukimnya di Mangkoso,” ujar Ahmad Rasyid.
Peristiwa spiritual luar biasa yang senantiasa dinanti oleh umat Islam itu ditandai oleh seberkas cahaya yang memenuhi setiap sudut mesjid. Masyarakat Mangkoso yang kebetulan terjaga malam itu menyangka kalau mesjid terbakar. Gurutta mendoakan agar diberi ilmu yang berberkah dan tujuh generasinya menjadi ulama besar Ahlussunnah Wal Jamaah.
Pada zaman penjajahan Jepang, Gurutta seringkali dibonceng sepeda melewati pos penjagaan. Tentara Jepang memerintahkan setiap orang yang melewati pos untuk turun dari sepeda dan memberi hormat. Kepada Abdullah Giling yang memboncengnya, Gurutta memerintahkan untuk jalan terus, tidak perlu berhenti. Gurutta pun lewat tanpa halangan apa-apa. Hanya saja, pengendara sepeda yang menyusul di belakang dan ikut-ikutan tidak turun mendapat bentakan dan dipukuli oleh petugas pos.
Dalam masa-masa sulit atau membutuhkan sesuatu, baik yang menyangkut kebutuhan pokok sehari-hari ataupun keperluan pesantren, ada saja bantuan langsung yang diperolehnya dengan cara yang gaib.
Disaat memerlukan sejumlah dana, ditemukan seikat uang dari balik bantal atau kasur tempat tidurnya. Atau ada orang yang tidak diketahui dari mana datangnya tiba-tiba mengantarkan uang kepadanya.1 Busairi Juddah yang semasa di Mangkoso bertugas menimba air dan berbelanja di pasar bersama Abdullah Giling menuturkan pengalaman pribadinya hidup bersama Gurutta. Diantaranya saat hendak ke pasar ia memberi tahu Gurutta bahwa uang belum ada. Lalu Gurutta berkata, “Coba angkat bantal itu”, dan ternyata uang ada di situ.
“Letak Mangkoso yang bersebelahan dengan Paccekke (markas para pejuang), membuat Gurutta Ambo Dalle selalu berhubungan dengan para pejuang itu, meskipun ia sendiri tidak pernah secara langsung memanggul senjata,” kata Ahmad Rasyid.
Namun, setiap saat tempat tinggalnya selalu disinggahi para pejuang yang meminta didoakan keselamatannya. Bahkan, ketika anggota ekspedisi TRI Persiapan Sulawesi di bawah komando Mayor Andi Mattalatta akan berangkat ke Jawa untuk menemui Presiden Soekarno dan Panglima Besar Sudirman pada tahun 1947, mereka menemui Gurutta untuk didoakan agar selamat dalam perjalanan. Begitu pun saat mereka kembali dari Jawa pada tahun 1947.
Dirikan DDI di Barru
Sementara itu, Pesantren MAI yang dibina Gurutta Ambo Dalle dengan dibantu oleh beberapa orang santri seniornya terus berkembang.
Dalam pertemuan sejumlah ulama pendukung MAI di Watang Soppeng pada tanggal 7 Februari 1947, disepakati membentuk sebuah organisasi untuk menangani perkembangan MAI tersebut, yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial kemasyarakatan. Organisasi baru ini diberi nama Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI).
Anregurutta Ambo Dalle lalu didaulat menjadi ketua bersama Anregurutta HM Abduh Pabbajah yang terpilih sebagai sekretaris. Ia pun dipercaya untuk membuat lambang organisasi itu.
Sepulang dari Soppeng, perguruan MAI yang dipimpinnya diintegrasikan dengan organisasi baru itu. Sejak itu, MAI Mangkoso beserta seluruh cabang-cabangnya berganti nama menjadi DDI, sekaligus Mangkoso dijadikan pusat organisasi.
Dalam perkembangan selanjutnya, DDI membuka cabang-cabang di berbagai daerah. Pembukaan cabang tersebut pada umumnya karena permintaan masyarakat setempat didukung oleh pemerintah yang menginginkan di daerahnya ada sekolah DDI. Hal ini menyebabkan permintaan tenaga pengajar mengalir dari berbagai daerah. Untuk melayani mereka, Gurutta mengambil kebijaksanaan. Santri yang duduk di tingkatan tertinggi ditugaskan keluar untuk mengajar dalam jangka waktu tertentu. Setelah tugasnya selesai mereka dipanggil kembali untuk meneruskan pelajaran dan diganti oleh santri lainnya.
Sementara itu pada tahun 1949, istri terakhirnya, Hj Marhawa, yang populer dengan panggilan Puang Hawa melahirkan putra kedua, Muhammad Ali Rusdy. Dalam waktu yang hampir bersamaan, datang tawaran dari Pemerintah Swapraja Mallusetasi yang memintanya menjadi qadi di Parepare.
Tawaran ini diterima baik oleh Gurutta. Sambil tetap memimpin pesantrennya di Mangkoso, beliau menjalankan tugas baru sebagai qadi. Hal itu menyebabkan Gurutta harus bolak-balik Mangkoso-Parepare dengan hanya dibonceng sepeda. Saat itu, beliau mulai menjajaki kemungkinan pusat organisasi dipindahkan ke Parepare.
Dirikan Pesantren di Parepare
Setelah merasa segala sesuatunya sudah siap, tahun 1950 Gurutta secara resmi memboyong keluarganya pindah ke Pare-Pare dan menetap di Ujung Baru, setelah terlebih dahulu menyerahkan kepemimpinan pesantren kepada seorang murid terdekatnya, KH Muhammad Amberi Said.
Dengan demikian, pusat organisasi pun turut dipindahkan, sedangkan Mangkoso diberinya status cabang otonom. Di Parepare, Gurutta Ambo Dalle mendirikan pesantren di daerah Ujung Baru, lebih dikenal dengan Pesantren DDI Ujung Lare.
Jaga Jarak dengan Pemerintah
Dalam masa pemerintahan Orde Baru, Gurutta Ambo Dalle dikenal sangat dekat dengan sejumlah jenderal dan pejabat tinggi negara. Ia mampu menjalin hubungan baik dengan pemerintah tanpa mengorbankan kharismanya sebagai ulama yang disegani.
Kedekatan itu juga tidak pernah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Ia mempunyai pandangan yang prinsip tentang hubungan umara dan ulama. Keduanya merupakan dwitunggal yang sangat diperlukan dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Bila keduanya bekerja sama dengan baik dan saling menguatkan, akan membawa keselamatan dan kesentosaan umat.
Karena itu, tak heran bila kediamannya tak pernah sepi dari kunjungan para pejabat, disamping kalangan masyarakat lainnya. Bahkan Try Sutrisno saat menjabat Panglima ABRI datang menemui Gurutta dan menyerahkan dirinya sebagai anak.
Sebelumnya, ketika masih menjabat KSAD telah diberikan sebuah tasbih. Tasbih tersebut diperoleh Gurutta melalui proses yang tidak lazim, yakni melalui mimpi. Dalam proses tersebut, Gurutta mendapatkan petunjuk bahwa tasbih itu hanya boleh diberikan kepada seseorang yang akan memimpin bangsa ini.
Dan Gurutta memberikan tasbih itu kepada Try Sutrisno yang kemudian terpilih menjadi Wakil Presiden RI. Ini menandakan adanya kedekatan khusus Gurutta dengan mantan orang nomor dua di republik ini.
Dirikan Pesantren Kaballangang di Pinrang
Pada tahun 1977, Gurutta Ambo Dalle menyatakan diri sebagai anggota Golongan Karya (Golkar). Pada masa itu, kebanyakan ulama masuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Keputusan Gurutta ini mendatangkan gejolak di internal DDI dan pesantren.
“Pesantren Gurutta di Parepare pun diguncang. Satu per satu santri meninggalkan pesantren. Akibatnya, dari ratusan santri tersisa beberapa puluh orang. Padahal pilihan Gurutta itu telah melalui istikharah yang dilakukannya demi penyelamatan organisasi,” kata Ahmad Rasyid.
Gurutta Ambo Dalle berniat memindahkan pesantrennya ke Wiringtasi, Soppeng Riaja, Barru. Tapi karena kondisi air di tempat itu tidak memungkinkan untuk sebuah pesantren, Gurutta urung melaksanakan niat itu.
Gurutta kemudian berkeinginan pindah ke Kalimantan. Di sana seorang pengusaha menyediakan tempat untuknya. Untunglah pada saat yang kritis itu, Bupati Pinrang yang saat itu dijabat Andi Patonangi menawarkan lokasi untuk beliau di Desa Kaballangang, Pinrang. Maka, pada tahun 1979 Gurutta meninggalkan Parepare pindah ke Pinrang.
Di tempat yang baru ini, beliau mendirikan pesantren putra dan di sinilah Gurutta menghabiskan hari tuanya.
Dalam kondisi fisiknya yang sangat renta, ia tetap berkeliling mengunjungi santri-santrinya yang tersebar di seluruh pelosok sampai ke luar negeri, sambil menghadiri berbagai acara, baik acara resmi kenegaraan (Gurutta pernah menjadi anggota MPR RI dan penasihat presiden), maupun yang diadakan oleh masyarakat yang ada di pelosok-pelosok terpencil.
“Beliau tidak pernah membeda-bedakan orang yang mengundangnya dan selalu berusaha untuk datang, meskipun ia harus dipapah bahkan digendong sekalipun,” ujar Ahmad Rasyid.
Tulis Puluhan Buku Berbahasa Arab dan Bugis
Anregurutta H.Abdurrahman Ambo Dalle adalah seorang pendidik dan ulama yang produktif. Tidak kurang dari empat puluh judul kitab telah ditulisnya. Kitab-kitab tersebut ada yang berbahasa Arab, Bugis, Arab – Bugis, dan Arab – Indonesia.
Salah seorang santri Gurutta, Dr Muhammad Yusuf Khalid, yang pernah melakukan penelitian untuk menyusun disertasi S-3 pada Universitas Islam Malaysia mengumpulkan tiga puluh buah kitab karangan Gurutta.
Dalam disertasinya, Yusuf Khalid membagi ketiga puluh kitab tersebut ke dalam enam klasifikasi, yaitu bidang akidah, syariah, akhlak, bahasa Arab, sejarah, dan campuran.
Salah satu kelebihan kitab karangan Gurutta adalah isinya tidak ada yang terlalu tebal dengan pembahasan yang sederhana sehingga memudahkan masyarakat awam untuk memahaminya. Rata-rata halamannya berjumlah puluhan, yang paling tebal terdiri dari 110 halaman.
Wafat di Makassar Dimakamkan di Mangkoso
Karena usianya yang kian sepuh, Gurutta beberapa kali jatuh sakit. Suatu hari, tanggal 8 November 1996, karena sakitnya dianggap parah, Gurutta Ambo Dalle dirawat secara khusus di ruang Intensif Care Unit (ICU) Rumah Sakit Akademis Ujung Pandang.
Para dokter ahli yang memeriksa dan merawat mengatakan bahwa ulama besar itu dalam keadaan yang “sehat-sehat” saja karena tidak menemukan penyakit yang serius. Kesimpulan para ahli medis itu sekaligus mengisyaratkan bahwa Gurutta mengidap “penyakit tua”.
Usianya memang telah uzur. Tuhan memberinya keistimewaan untuk melalui masa akhir hayat dengan tenang.
Rupanya, sakit Gurutta itulah sakit yang terakhir. Setelah beberapa hari menjalani perawatan, pada hari Jum’at tanggal 29 November 1996, saat kaum muslimin sedang melaksanakan Salat Jumat, Anregurutta Abdurrahman Ambo Dalle menghembuskan nafas terakhir,
Esoknya, hari Sabtu tanggal 30 November 1996, sesuai wasiatnya semasa hidup, Gurutta dimakamkan di halaman depan Masjid Mangkoso, berdampingan dengan Gurutta HM Amberi Said dan Petta Soppeng.
Sebelumnya, jenazah disemayamkan di rumah Gurutta di Ujung Baru Parepare. (*)
Sumber: http://makassar.tribunnews.com/2018/10/26/tribunwiki-sejarah-dan-perjuangan-anregututta-ambo-dalle-lengkap-dari-lahir-hingga-wafat?page=all