Panrita.id

Cadar menurut Syekh Ali Jum’ah: Makruh hingga Bid’ah

Oleh: Prof. Dr. Ali Jum’ah Muhammad Abd al-Wahhab

(Ulama Besar Al-Azhar Kairo/Mufti Mesir tahun 2003-2013)

Cadar adalah topeng yang diletakkan oleh seorang perempuan pada wajahnya, sehingga seluruh wajahnya akan tertutup kecuali mata. Biasanya, terbuat dari kain dan menyentuh kulit wajah. Cadar adalah salah satu larangan ihram.

Mayoritas ahli fiqhi mengatakan bahwa seluruh tubuh wanita adalah aurat bagi laki-laki asing kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Wajah dan telapak tangan dikecualikan karena perempuan perlu bertransaksi dengan laki-laki dan perlu menerima dan memberi.

Diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwasanya dia bahkan membolehkan menampakkan kedua telapak kaki, karena Allah swt. melarang menampakkan perhiasan kecuali yang tampak, sedangkan kedua telapak kaki adalah termasuk yang tampak.

Sedangkan mazhab Hanbali sepintas lalu berpandangan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat bagi laki-laki asing. Diriwayatkan dari Imam Ahmad bahwa dia pernah mengatakan: “Barang siapa telah mentalak ba’in istrinya maka tidak boleh makan bersamanya karena akan melihat telapak tangannya”. Sementara itu, Al-Qadhi dari mazhab Hanbali mengatakan, “Haram hukumnya seorang laki-laki melihat perempuan asing (bukan mahram) kecuali wajah dan telapak tangan.

Mayoritas ulama telah berpegang pada sejumah dalil dari Al-Qur’an dan Hadis. Diantaranya: QS. al-Nur/24: 31

قُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا…

Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat…

Maksudnya, organ tubuh tempat perhiasan itu biasa dikenakan. Dalam hal ini celak adalah hiasan mata, dan cincin adalah hiasan telapak tangan. Setelah menyebutkan ayat ini, Ibnu Katsir mengatakan “Al-A’masy meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dengan ‘yang biasa terlihat’ adalah wajah, dua telapak tangan dan cincin. Hal yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Umar, ‘Atha’, ‘Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Abu Al-Tsa’tsa’, Al-Dhahhak, Ibrahim Al-Nakh’i dan yang lain.

Dari hadis Nabi saw. adalah apa yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah ra.:

أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتْ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ

Bahwa Asma binti Abu Bakr masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengenakan kain yang tipis, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun berpaling darinya. Beliau bersabda: “Wahai Asma`, sesungguhnya seorang wanita jika telah baligh tidak boleh terlihat darinya kecuali ini dan ini -beliau menunjuk wajah dan kedua telapak tangannya-.” [1]

[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya, jilid.4, h. 62 dan setelahnya dia berkomentar, “Ini hadits mursal. Khalid bin Duraik belum pernah bertemu dengan ‘Aisyah radliallahu ‘anha.”; juga diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubra, Jilid.2, h. 226; dan Syu’ab al-Iman, Jilid.6, h.165.

Juga hadis tentang anjuran Nabi saw. kepada kaum perempuan untuk bersedekah guna melindungi diri dari neraka yang di dalamnya ada kata-kata:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ شَهِدْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الصَّلَاةَ يَوْمَ الْعِيدِ فَبَدَأَ بِالصَّلَاةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ بِغَيْرِ أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ قَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى بِلَالٍ فَأَمَرَ بِتَقْوَى اللَّهِ وَحَثَّ عَلَى طَاعَتِهِ وَوَعَظَ النَّاسَ وَذَكَّرَهُمْ ثُمَّ مَضَى حَتَّى أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ فَقَالَ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّ أَكْثَرَكُنَّ حَطَبُ جَهَنَّمَ فَقَامَتْ امْرَأَةٌ مِنْ سِطَةِ النِّسَاءِ سَفْعَاءُ الْخَدَّيْنِ فَقَالَتْ لِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكَاةَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ قَالَ فَجَعَلْنَ يَتَصَدَّقْنَ مِنْ حُلِيِّهِنَّ يُلْقِينَ فِي ثَوْبِ بِلَالٍ مِنْ أَقْرِطَتِهِنَّ وَخَوَاتِمِهِنَّ

Dari Jabir bin Abdullah ia berkata; Aku telah mengikuti shalat hari raya bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau memulainya dengan shalat sebelum menyampaikan khutbah, tanpa disertai adzan dan Iqamah. Setelah itu beliau berdiri sambil bersandar pada tangan Bilal. Kemudian beliau memerintahkan untuk selalu bertakwa kepada Allah, dan memberikan anjuran untuk selalu mentaati-nya. Beliau juga memberikan nasehat kepada manusia dan mengingatkan mereka. Setelah itu, beliau berlalu hingga sampai di tempat kaum wanita. Beliau pun memberikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Beliau bersabda: “Bersedekahlah kalian, karena kebanyakan kalian akan menjadi bahan bakar neraka jahannam.” Maka berdirilah seorang wanita dari tengah jama’ah pada kulit pipinya ada warna hitam bertanya, “Kenapa ya Rasulullah?” beliau menjawab: “Karena kalian lebih banyak mengadu (mengeluh) dan mengingkari kelebihan dan kebaikan suami.” Akhirnya mereka pun menyedekahkan perhiasan yang mereka miliki dengan melemparkannya ke dalam kain yang dihamparkan Bilal, termasuk cincin dan kalung-kalung mereka.[2]

[2]Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya, Jilid.3, h. 318; Muslim dalam Shahihnya, Jilid.2 h. 606; Abu Daud dalam sunannya, jilid, 4, h. 338; Al-Nasa’I dalam sunannya, Jilid.3, h. 186; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya, j.2, h. 357.; dan Al-Darimi dalam sunannya, j.1, h. 458.

Hadis ini mengisyaratkan bahwa wajah perempuan tersebut tidak tertutup, sehingga terlihat oleh Jabir ra., penutur hadis ini.

Orang-orang yang tidak setuju dengan pandangan ini, mengatakan bahwa hadis-hadis ini dinasakh oleh QS al-Ahzab/33: 59

يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا (59)

Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Tetapi, seperti terbaca, dalam ayat ini tidak ada satu ungkapan pun yang secara tegas menunjukkan perintah menutup wajah.

Al-Mirghinani dari mazhab Hanafi mengatakan ‘Seluruh tubuh wanita merdeka adalah aurat kecuali wajah dan kedua telapak tangannya’. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.

اَلْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ مَسْتُوْرَةٌ

Seorang perempuan adalah aurat yang tertutup

Pengecualian dua organ tubuh tersebut maksudnya agar ditampakkan dari semula. Imam Hanafi ra. mengatakan, ‘Ini adalah dalil yang secara eksplisit menunjukkan bahwa telapak kaki adalah aurat’. Tetapi, ada riwayat lain yang menyebutkan bahwa keduanya bukan aurat, dan inilah pendapat yang lebih tepat.[3]

[3]Abu Bakar bin Ali Al-Rasydani Al-Mirghinani, Al-Hidayah, j.1, h. 259.; dicetak beserta syarahnya, Fath al-Qadir.

Dari ‘Aisyah ra. mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan ‘yang biasa terlihat’ adalah wajah dan dua telapak tangan.

Sedangkan menurut Ibnu ‘Umar ra. adalah ‘hiasan yang tampak (wajah dan kedua telapak tangan).

Maksud yang sama juga diriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abu Rabah dan Sa’id bin Jubair, dan ini juga pendapat Al-Auza’i.[4]

[4]Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubra, j.1, h.218.

Mazhab Maliki dengan tegas menyebutkan bahwa memakai cadar bagi seorang perempuan adalah makruh jika bukan kebiasaan warga setempat. Mereka kemudian menyebutkan bahwa hal itu termasuk sikap yang berlebih-lebihan dalam beragama. Imam Al-Dardir mengatakan dalam Al-Syarh al-Kabir, “…dan makruh memakai cadar bagi seorang perempuan. Yakni: menutup wajahnya kecuali mata ketika shalat karena termasuk sikap yang berlebih-lebihan dalam beragama. Jika bagi perempuan makruh, maka bagi laki-laki apalagi. Ini jika terjadi di tengah masyarakat yang tidak memiliki kebiasaan seperti itu. (Perkataannya: dan memakai cadar bagi seorang perempuan) yakni, sama saja antara waktu shalat atau kesempatan lain, dan memakai cadar yang di ketika shalat itu karena untuk shalat atau bukan.[5]

[5]Hasyiyat al-Dusuki ‘ala al-Syarh al-Kabir, j.1, h. 218.

Masalah cara berpakaian erat kaitannya dengan kebiasaan masyarakat. Sehubungan dengan realita sosial di Mesir maka yang lebih cocok adalah memegang pendapat mayoritas (jumhur). Aneh kelihatannya perempuan menutup wajahnya di tengah masyarakat modern kita, bahkan bisa menimbulkan keretakan dalam keluarga.

Sedangkan masyarakat-masyarakat lain yang kaum perempuannya terbiasa memakai cadar, maka tidak apa-apa mereka memakai cadar karena sejalan dengan adat istiadat setempat dan tidak ada hubungannya dengan keberagamaan kaum perempuan.

Oleh karena itu, kami mengunggulkan pendapat mayoritas, yaitu dibolehkannya memperlihatkan wajah dan kedua telapak tangan, sedangkan seluruh bagian yang lain harus ditutup. Di sisi lain, kami juga memandang bahwa jika menutup wajah itu dianggap sebagai sebuah tanda untuk memecah belah umat atau sebagai simbol ketaatan beragama, maka akan keluar dari hukum sunnah atau boleh dan berubah menjadi bid’ah.

Namun, tetap kami tandaskan bahwa seorang perempuan harus menutup auratnya dengan memakai hijab, yaitu busana yang menutup seluruh aurat. Busana yang digunakan untuk menutup aurat ini harus memenuhi sejumlah sifat sebagai berikut:

  1.  Tidak boleh terlalu pendek, sehingga menyingkapkan sebagian dari tubuhnya.
  2.  Tidak boleh terlalu ketat, sehingga menggambarkan aurat.
  3.  Tidak boleh terlalu tipis, sehingga menampakkan warna kulit aurat.

Jika busana wanita sudah memenuhi kriteria ini maka sudah sah disebut hijab syar’iy (busana muslimah), apa pun model dan namanya. Sebaliknya, apabila kehilangan salah satu dari syarat-syarat itu maka bukan hijab syar’iy.

Dengan demikian, cadar tidaklah wajib, bahkan dianggap bid’ah oleh mazhab Maliki karena termasuk sikap berlebih-lebihan dalam beragama, namun tetap boleh dilakukan di tengah masyarakat yang kaum wanitanya biasa memakai cadar.Wallahu A’la wa A’lam.

Sumber: Prof. Dr. Ali Jum’ah, Al-Mutasyasddiduun: Manhajuhum…wa Munaaqasyat Ahamm Qadhaayaahum…/Bukan Bid’ah: Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang yang Bersikap Keras dalam Beragama..Penerjemah: Baba Salem..Penyunting: Dr. Muchlis M. Hanafi, MA. (Cet.I; Tangerang: Lentera Hati, 2012), h. 272-279.