Panrita.id

Ismail Fajrie Alatas: Habib Dan Kiai Juga Butuh Duit [Wawancara]

Oleh: Prof. Ismail Fajrie Alatas, Ph.D. (Profil)

Assistant Professor Kajian Islam dan Timur Tengah, New York University

 

Bukan rahasia umum lagi jika para habib di Jakarta, dengan basis jamaah pengajian besar, dekat dengan siapa saja, mulai masyarakat biasa, pengusaha, politisi, pejabat tingkat kota, provinsi, hingga penguasa negeri ini. Misalnya, Majelis Habib Ali Alhabsyi di Kwitang, Jakarta Pusat, dikenal dekat dengan Partai Golongan Karya dan penguasa Orde Baru. Majelis Rasullullah yang diasuh Habib Mundzir bin Fuad Almusawa pernah mengundang calon presiden Jusuf Kalla. Majelis Shalawat dan Zikir Nurul Musthofa yang dipimpin Habib Hasan bin Jafar Assegaf menggaet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Seorang pengurus sekretariat Majelis Rasulullah, Wahyu, menolak pengajiannya dianggap memiliki afiliasi politik kepada partai tertentu. Sampai sekarang kami tidak ada urusan dengan partai politik, kata dia, dua pekan lalu. Abdulrahman, orang yang dituakan dalam sekretariat majelis Nurul Musthofa, memilih berkomentar lebih terbuka.Mereka (politisi) memang sering datang ke pengajian. Silakan datang saja, kalau pengen ikut bershalawat.

Kepada Muhammad Taufik dari merdeka.com yang menemui dia seusai mengajar di Universitas Indonesia, kemarin (1 Maret 2012), pemerhati diaspora orang-orang Hadrami di Asia Tenggara, menjelaskan soal itu. Berikut penuturannya:

Menurut Anda, para habib memiliki afiliasi terhadap partai politik tertentu?

Saya rasa mereka tidak berpolitik secara total, membawa majelis-majelis ini ke ranah politik. Tapi sebagai individu, mereka tetap punya hak berpolitik. Hanya cara-caranya, misalnya Habib Mundzir, saat pemilihan gubernur DKI lalu. Salah satu calonnya Fauzi Bowo, dikenal orang Nahdhatul Ulama, deket dengan habaib, deket dengan ulama, dari kecil mengaji di Kwitang. Calon lainnya, Adang Darajatun, yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mundzir tidak bisa bilang nyoblos sana. Mundzir mengatakan, Coba nanti kalau milih gubernur, cobloslah yang senang maulid, jangan coblos seseorang yang tidak senang bermaulid.” Itu isyarat besar. Padahal, kakaknya pengurus tinggi PKS.

Apakah ada gejala habaib mendekati penguasa untuk sebuah kepentingan tertentu?

Ya, mungkin saja. Sekarang misalnya, mereka (habaib) di suruh ngajar seperti itu, terus mereka dapat duit dari mana? Ya kan? Emangnya ada wakaf dari negara untuk ustad-ustad atau habib-habib itu. Kan nggak ada. Dengan demikian, mereka juga harus cari mata pencarian juga. Ini kan untuk membantu keuangan. Misalnya, untuk menghidupkan majelis, dijual poster, kalender, jaket, CD. Nah, ini membantu juga keuangan.

Bagaimana soal jual-beli suara?

Saya tidak tahu apakah dua majelis ini (Majelis Rasulullah dan Nurul Musthofa) ada atau tidak. Tapi yang saya tahu para kiai besar, habib-habib besar, yang memiliki massa besar selalu seperti itu. Mungkin jual-beli suara, tapi tidak terlalu eksplisit. Tapi artinya politisi pasti ngasih uang, untuk ini. Ya kan dia juga harus mengelola masyarakatnya. Ini kan hubungan patronase. Dia (para habib) juga perlu duit untuk membikin majelis maulid. Memberi makan orang segitu banyak, duitnya dari mana? Ya dari politikus, dari penguasa besar. Politikus dan Penguasa besar bisa duduk di panggung menjadi kapital. Ini simbiosis mutualistis, saling menguntungkan. Politikus butuh visibility (pandangan) dari habaib. Tapi untuk mendapat visibility itu kan butuh duit. Misalnya, untuk masak kambingnya dan lain-lain.

Apakah dengan mendekat ke penguasa atau politisi, keberadaan atau kepentingan habib dan majelis aman?

Tradisinya, kiai-kiai besar, habib-habib besar seperti itu. Tapi mereka tidak butuh politikus untuk menjalankan kepentingan, justru politikus butuh mereka karena mereka punya massa, sehingga didekati oleh politisi.

Apakah Anda melihat majelis taklim di Jakarta sudah dipakai sebagai kendaraan politik? Misalnya saat kehadiran Jusuf Kalla ke Majelis Rasullulah dan Presiden di Nurul Musthofa.

Tidak seeksplisit itu juga. Kalau JK (Jusuf Kalla) datang ke MR (Majelis Rasulullah) dan SBY datang ke NM (Nurul Musthofa), itu haknya siapa saja untuk hadir. Itu majelis umum. Kalau sebagai kepala negara atau menteri datang, pasti dikasih waktu bicara. Itu bagian dari ulil amri. Siapapun datang pasti diterima. Mundzir dan Hasan saya rasa tidak tertarik menggunakan organisasinya untuk kepentingan politik. Tapi pilihan politik perseorangan itu biasa. Misalnya, Mundzir pilih gubernur yang suka maulid, itu kan persoalan preferensi.

Sumber: https://www.merdeka.com/khas/ismail-fajrie-alatas-1-habib-dan-kiai-juga-butuh-duit.html